Pemulihan hubungan diplomatik Indonesia dengan Kamboja dan Kuba terjadi pula di era Mochtar menjadi Menteri Luar Negeri.
Konflik Indocina, yang melibatkan RRC, Vietnam, dan Kamboja, terjadi pada kurun 1978-1979, pun merupakan salah satu agenda Mochtar dan para menteri luar negeri ASEAN semasa.
Istilah "manusia perahu" pun muncul dari sini, untuk menyebut para pengungsi dari wilayah konflik yang kebanyakan datang menumpang perahu.
Salah satu kontribusi Indonesia adalah menyediakan lokasi transit pengungsi Indocina. Semula, pengungsi ditempatkan sementara di Riau, lalu ke Pulau Galang, sebelum ada negara lain siap menerima mereka.
Konflik Indocina ini berlarut-larut hingga beberapa tahun ke depan. Ketika sorotan atas konflik Lebanon, Iran-Irak, dan Palestina meningkat pada 1984 pun, konflik Indocina masih berlanjut, termasuk diwarnai ketegangan antara Amerika Serikat dan Vietnam di dalamnya.
Pada akhirnya Indonesia dan ASEAN berurusan panjang dengan konflik Indocina ini, termasuk mengkritik Gerakan Non-Blok yang dinilai tak punya sikap tegas soal invasi Vietnam.
Indonesia dan ASEAN pun menginisiasi International Conference on Kampuchea (ICK) untuk mencari solusi atas konflik Indocina terutama tentang nasib Kamboja.
Juwono Sudarsono yang di kemudian hari menjadi Menteri Pertahanan, mengupas konflik Indocina di rubrik opini Kompas edisi 27 Februari 1985.
Langkah yang dimungkinkan dipilih negara-negara dalam perseteruan itu dikupas, termasuk terbawa-bawanya Thailand yang berbatasan wilayah darat dengan Vietnam dan Kamboja.
Belakangan, Mochtar melontarkan usul solusi konflik Indocina dengan mengembalikan keputusan langkah pada rakyat Kamboja. Bagaimana pun, kata dia, ini semua bermula dari konflik internal Kamboja yang lalu masing-masing kubu meminta sokongan dari negara lain.
Usul Mochtar ini dilabeli sebagai "cocktail party", tapi hanya mengundang semua unsur yang berseteru di Kamboja, sekalipun dilakukan di negara lain.
Sebelumnya, sudah ada semacam usulan itu datang dari Pangeran Norodom Sihanouk, tetapi melibatkan semua negara dan organisasi yang selama ini terbawa-bawa konflik ini.
ASEAN atas inisiasi Malaysia pun sempat menyodorkan "proximity talks" sebagai upaya mengakhiri konflik tersebut.
Solusi konflik Indocina merujuk pada usul Sihanouk yang diajukan lewat delapan pasal sempat jadi harapan baik. Indonesia menjadi lokasi pertemuan dan tidak berkeberatan dengan usul yang tertolak, sebagaimana diberitakan harian Kompas edisi 29 April 1986.
Itu pun tak lalu benar-benar jadi solusi. Hingga menjelang akhir 1987, konflik ini belum memperlihatkan akhir.
Berlarut-larutnya konflik Indocina sampai membuat Indonesia sempat mengeluarkan ancaman mundur dari posisi interlokutor ASEAN, seperti diberitakan Kompas edisi 29 Agustus 1987.
Hingga Mochtar digantikan Ali Alatas di posisi Menteri Luar Negeri pada Maret 1988, konflik Indocina tak reda. Solusi yang disodorkan Mochtar soal penentuan nasib sendiri oleh rakyat Kamboja menjadi pilihan di saat-saat terakhir jabatan Mochtar, tapi tarik ulur ada saja sehingga semua tetap tertunda.
Naik turun Gerakan Non-Blok terkait situasi politik Kuba juga terjadi semasa Mochtar menjadi Menteri Luar Negeri. Ada isu Kuba yang mendapat dukungan Uni Soviet untuk tengil di kawasan Amerika Selatan, jadi salah satu pemicu naik turun gerakan ini.
Ini setidaknya pernah mengemuka dalam pemberitaan harian Kompas edisi 21 Juli 1978. Untung, kekhawatiran retaknya gerakan itu tak terjadi, merujuk artikel harian Kompas edisi 4 Agustus 1978. Namun, Kuba mencoba main kayu lagi pada 1979.
Saat digantikan Ali Alatas, Mochtar masih mengemukakan keinginan Indonesia untuk menjadi tuan rumah KTT ke-9 Gerakan Non Blok. Namun, pertemuan pemimpin negara-negara anggota gerakan itu akhirnya digelar di Yugoslavia pada 4-7 September 1989.
Pembahasan soal markas besar ASEAN, yang kini ada di bilangan Jakarta Selatan, terjadi semasa pula di masa Mochtar menjadi Menteri Luar Negeri, sebagaimana diberitakan harian Kompas edisi 8 April 1978.
Rumusan kedudukan Sekjen ASEAN disepakati pada Kamis (14/9/1978) dan diberitakan Kompas pada 15 September 1978.
Pada edisi 8 Agustus 1984, harian Kompas mengangkat wawancara khusus dengan Mochtar yang membahas soal posisi ASEAN yang jadi diperhitungkan di peta politik dunia, menyusul sikap ASEAN atas konflik Indocina.
Isu Timor Timur juga "pekerjaan rutin" Mochtar dari tahun ke tahun selama menjadi Menteri Luar Negeri. Namun, pada 1984 persoalan yang ditudingkan ke Indonesia tentang wilayah ini bergeser.
"Jadi rupanya masalah integrasi sudah mereka anggap sebagai suatu fakta," kata Mochtar, Jumat (10/8/1984), sebagaimana tayang di harian Kompas edisi 11 Agustus 1984 dalam artikel berjudul Masalah Timor Timur: Bergeser, dari Persoalkan Integrasi ke Soal Hak Asasi.
Isu Timor Timur pun rupanya sempat menjadi alasan ketegangan tipis-tipis dengan Papua Nugini, negara yang berbatasan darat dengan Indonesia. Selama beberapa tahun, persoalan yang ada adalah soal pelintas batas.
Namun, di paruh kedua 1984, situasi Timor Timur seperti diembus-embuskan pula bak cek ombak untuk Papua Nugini. Mochtar sampai meminta Papua Nugini untuk tak terpengaruh hasutan, sebagaimana dimuat di harian Kompas edisi 20 Oktober 1984.
Persoalan Timor Timur pun menggoyang lagi Gerakan Non-Blok pada 1985. Mochtar pun meminta negara-negara anggota untuk menjaga gerakan ini, jangan sampai terhenti oleh perselisihan, sebagaimana diberitakan Kompas edisi 7 September 1985.
Sebuah cerita lain tentang Mochtar "nyempil" di harian Kompas edisi 25 Agustus 1985, ketika dia menjadi Menteri Luar Negeri.
Dalam rubrik Nama & Peristiwa pada edisi tersebut, Kompas mengungkap dua rahasia Mochtar. Itu adalah soal cat rambut andalannya dan cincin yang dibilang bagus oleh banyak orang tapi dia sendiri butuh waktu untuk ngeh ketika diminta memperlihatkan "cincin bagus" itu.
Cerita ini pun lalu relevan pula dengan selera humor Mochtar. Saat dicecar wartawan Australia tentang ancaman militer Indonesia pada kurun 1980-an, dia menjawab lugas, "Do I look dangerous?"
Kisah di atas yang mencairkan hubungan diplomatik Indonesia-Australia diungkap oleh mantan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, yang juga adalah sepupu Mochtar, dalam buku Rekam Jejak Kebangsaan Mochtar Kusumaatmadja.
Mochtar pun sosok yang mengakui diri sebagai eksentrik dan suka berkelakar, dengan bersandar bahwa dia lahir di bawah naungan bintang aquarius dalam astrologi.
Dia bahkan menyebut, kalaupun kementeriannya dianggap rusak dan tolol, itu tak perlu ditanggapi dengan kecil hati. Dia merujukkan pernyataannya ini pada sosok Kabayan dalam khasanah literasi Sunda.
Si Kabayan, kata dia, selalu dianggap tolol, suka berkelakar, dan malang. Namun, ternyata si Kabayan justru selalu benar dan bijaksana.
"Karena itu kalau ada orang Sunda dikatakan tolol, tak perlu kecil hati," ujar dia Kamis (9/9/1982), seperti dikutip harian Kompas edisi 12 September 1982.
Selain lekat dengan dunia hukum dan diplomasi, terutama terkait dengan hukum laut, Mochtar juga dikenal punya perhatian mendalam soal kebudayaan.