Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa wartawan memiliki empat motif yang mendorong mereka untuk mengikuti UKW.
Sementara itu, belum banyaknya jumlah wartawan yang tersertifikasi, menyebabkan profesionalitas wartawan sulit ditegakkan.
Hal itu dapat terlihat dari jumlah pengaduan masyarakat terhadap kasus sengketa pers. Tiap tahun Dewan pers rata-rata menerima sekitar 300 aduan terkait pelanggaran kode etik wartawan.
Untuk tahun 2020, setidaknya sampai Juni, Dewan Pers menerima 97 surat aduan. Sebanyak 42 pengaduan langsung, 27 surat tembusan, dan 28 surat lainnya.
Sampai 15 Juli 2020, 153 kasus telah diselesaikan. Sebanyak 89 kasus masih dalam proses penyelesaian (AJI, 2020).
Menyelesaikan sengketa pers merupakan tugas Dewan Pers sebagaiman termaktub dalam Undang-undang No. 40 tahun 1999 pasal 15 ayat 2 yang berbunyi, "Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers."
Namun, Dewan Pers akan sangat kerepotan jika hanya menangani sengketa pers yang sejatinya merupakan persoalan di hilir, sementara problem utama di hulu tidak diselesaikan, yaitu meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan.
Oleh sebab itu betapa pentingnya sertifikasi wartawan untuk menunjukkan bahwa hanya yang berkompetenlah yang layak menjadi wartawan.
Merumuskan kompetensi wartawan merupakan sesuatu hal yang tak pernah selesai disepakati. Stefan Russ-Mohl, seorang sarjana Jerman, pernah menuliskan bahwa menentukan kualitas dalam jurnalisme sangat mirip dengan upaya "untuk memaku puding ke dinding" (Hanitzsch, 2001).
Namun seorang sarjana Jerman, Siegfried Weischenberg, memperkenalkan model skematis kompetensi dalam jurnalisme yang terdiri dari lima faktor (Hanitzsch, 2001):
Dewan Pers, dalam Peraturan Nomor 1/Peraturan – DP/II/2010, mendefinisikan kompetensi wartawan sebagai kemampuan wartawan melaksanakan kegiatan jurnalistik yang menunjukkan pengetahuan, dan tanggung jawab sesuai tuntutan profesionalismenya yang dipersyaratkan.
Jika hendak dirumuskan secara singkat maka persyaratan kompetensi dapat dibagi menjadi tiga, yakni kompetensi dengan penekanan pada sikap (awareness), pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill) atau dalam materi UKW dipopulerkan dengan SPK.
Luwarso dan Gatyatri (2006) memaparkan ketiganya sebagai berikut:
Dewan Pers telah membakukan SPK dalam bentuk segitiga dengan menempatkan sikap pada pucuk, pengetahuan bagian tengah, dan keterampilan pada landasan (bawah).
Sebagai ruang, bangunan segitiga keterampilan menempati ruang lebih luas, besar dan banyak yang dipahami bahwa kompetensi awal yang utama dan harus terus menerus dibangun dan dikembangkan adalah keterampilan (Yatim, 2014).