Hal itu ditanggapi publik dengan skeptis terhadap risiko dan bersikap sinis terhadap otoritas kesehatan, perusahaan farmasi, media yang dianggap bersekongkol untuk mengeksploitasi pandemi ini demi keuntungan masing-masing (Bangerter, 2014).
Ketidakpercayaan ini sangat mungkin dimotivasi oleh keyakinan terhadap teori konspirasi, terutama ketika merasa frustrasi dengan ketidakpastian dan terhambatnya berbagai kebutuhan psikologis saat krisis dan situasi tak pasti.
Situasi ini diperparah dengan banyaknya beredar berita palsu dan informasi yang salah (fake news and misinformation) dan rendahnya kepercayaan kepada sains.
Kecaman terhadap Covid-19 sebagai konspirasi membuat publik tidak memercayai dampak buruknya terhadap hampir seluruh aspek kehidupan utamanya kondisi ekonomi.
Pada akhirnya, publik tidak mengapresiasi keputusan pemerintah dalam menyelamatkan perekonomian.
Padahal, pemerintah juga mengalami dilema karena berada dalam tegangan antara mengutamakan kesehatan ekonomi dan mengutamakan kesehatan masyarakat, meski sangat berupaya untuk menyelamatkan keduanya sekaligus.
Pada awal pandemi pemerintah terkesan gamang dan tak jarang terkesan kurang terkoordinasi terutama dengan pimpinan di daerah tertentu.
Pemerintah berada dalam tekanan kuat untuk membuat keputusan dengan cepat karena taruhannya adalah banyak nyawa namun dalam banyak selubung ketidakpastian, tekanan para ahli, dan juga tuntutan publik.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa ciri kepribadian tertentu terkait dengan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, yang jelas relevan dalam konteks pandemi global (Zettler et al., 2021). Sejauh mana orang mematuhi aturan dan himbauan terkait penyebaran Covid-19 dikaitkan dengan sifat-kepribadian tertentu.
Individu yang lebih menekankan pada kepentingan diri sendiri, mengejar tujuan sendiri, mengabaikan kepentingan umum, tidak menganggap upaya menghadapi pandemi Covid-19 sebagai tindakan kolektif dan berperilaku kurang patuh terhadap aturan dan peraturan yang dimaksudkan untuk mengurangi penyebaran Covid-19 adalah individu dengan sifat kecenderungan normatif dan mengikuti aturan (conscientiousness) yang rendah, sifat rendah hati dan jujur yang rendah, dan kemampuan beradaptasi, empati, menolong, dan kooperatif yang juga rendah serta menunjukkan skor tinggi dalam "trio gelap" kepribadian, yakni machiavellianisme, narsisme, atau psikopati.
Machiavellianisme mengacu pada sifat kepribadian yang menunjukkan seseorang yang begitu berfokus pada kepentingannya sendiri sehingga memanipulasi, mengelabui, dan mengeksploitasi orang lain untuk mencapai tujuannya.
Narsisme menunjukkan kecenderungan untuk mempersepsikan diri sebagai superior, menganggap diri paling penting dan memiliki kebutuhan yang kuat untuk dikagumi, dan sama seperti Machiavellianisme, juga memiliki sifat eksploitatif dan merugikan orang lain demi memenuhi keinginan dan mencapai tujuannya.
Adapun psikopati dicirikan oleh sifat tidak jujur, manipulatif, tak peduli dan tak berperasaan, kurangnya penyesalan atau rasa malu, serta kecenderungan impulsif dan antisosial.
Selain itu, individu dengan orientasi dominansi sosial yang tinggi tampak kurang percaya terhadap perlunya pembatasan oleh pemerintah dan lebih besar kecenderungan menentang larangan terkait pencegahan Covid-19.
Individu dengan sikap ideologis semacam ini ditandai dengan dukungan terhadap hirarki sosial dan menginginkan kelompoknya lebih unggul, kecenderungan anti-egalitarianisme di dalam dan antarkelompok, mempertahankan dan meningkatkan perbedaan antara status sosial kelompok yang berbeda, serta antar anggota kelompok individu. Biasanya, mereka dominan, bersemangat, dan pencari kekuasaan.
Belief dan sikap tentang Covid-19 memprediksikan apakah publik akan mengikuti himbauan pemerintah, melakukan tindakan pencegahan terkait kesehatan (termasuk menggunakan masker, menjaga jarak fisik, mencuci tangan, dan tinggal di rumah), dan mau mendorong orang lain melakukan tindakan pencegahan yang sama (Clark et al., 2020).
Demikian pula, ketakutan yang tinggi terhadap Covid-19 terkait erat dengan sikap yang lebih positif (atau lebih tepatnya, sikap yang kurang negatif) terhadap adanya pembatasan sosial dan berbagai larangan lainnya (Koniak & Cwalina, 2020).
Dalam keputusan mudik, sangat mungkin belief dan sikap pemudik tidak negatif terhadap Covid-19 dan ketakutan terhadap risiko tergolong rendah. Persepsi risiko juga sangat mungkin berperan penting dalam memengaruhi keputusan mudik.
Jika dipersepsikan bahwa dengan mudik akan besar kemungkinan terpapar dan mengalami infeksi sebagai risiko yang harus diterima dan ketakutan yang tinggi terhadap risiko terpapar Covid-19 maka besar kemungkinan untuk memutuskan tidak mudik dan sebaliknya.
Dengan mengetahui beberapa motif di balik keputusan untuk memilih mudik, apa yang sebaiknya dilakukan oleh siapa pun yang mengharapkan adanya perubahan perilaku pada publik dan mendorong kepatuhan terhadap larangan terkait upaya pencegahan penyebaran Covid-19 terutama kepatuhan terhadap larangan mudik?
Berikut beberapa saran yang mungkin dapat dijalankan:
1. Menyadari dan menyadarkan tentang situasi saat ini dan pilihan yang sulit
Perlu terus-menerus diingatkan bahwa pandemi ini telah mengorbankan banyak hal terutama merenggut teramat banyak nyawa, tak hanya para profesional kesehatan yang bekerja amat keras dan terpapar Covid-19 tapi juga banyak warga bangsa.
Selain itu, hajat hidup orang banyak sangat terganggu karena tekanan yang luar biasa kuat pada perekonomian. Akibatnya, pilihan-pilihan yang tidak menyenangkan harus dibuat, termasuk secara moral. Pemerintah dan warga masyarakat diperhadapkan pada pilihan sulit.
Pemerintah berada di bawah tekanan untuk membuat keputusan dan kebijakan yang cepat namun dalam situasi ketidakpastian yang tinggi.
Mudik memberikan banyak manfaat termasuk kemanfaatan ekonomis terutama fungsi distribusi semisal pemerataan pendapatan. Larangan mudik adalah salah satu pilihan yang sulit dan pahit.
2. Informasi tepercaya dan kepemimpinan yang efektif