JAKARTA, KOMPAS.com - Raden Ajeng Kartini bercerita tentang bagaimana ketatnya tata krama yang berlaku di keluarganya kepada sahabat penanya, Estella Helena Zeehandelaar.
Meskipun berasal dari keluarga bangsawan Jawa yang menjunjung tinggi tata krama, tetapi rupanya Kartini tidak suka dengan ketat dan kakunya tata krama tersebut.
Kartini yang merupakan anak kelima dari 11 bersaudara memiliki prinsip kebebasan yang bertentangan dengan kodrat dirinya sebagai perempuan bangsawan.
Prinsip itu pun mendorongnya untuk mendobrak segala kekakuan yang ada di keluarganya.
Baca juga: Kartini dan Mimpi Ajarkan Kesetaraan ke Anak-anaknya...
Kepada Estella, Kartini bercerita bahwa dirinya menjadi pelopor untuk meninggalkan adat sopan-santun yang kaku itu.
"Di antara kami, mulai dari saya, kami tinggalkan semua adat sopan-santun (yang kaku). Perasaan kami sendiri yang harus mengatakan kepada kami sejauh mana cita-cita ingin bebas kami boleh bergerak," tulis Kartini dalam suratnya sebagaimana tercantum dalam buku Surat-surat Kartini. Renungan tentang dan untuk Bangsanya (1979).
Dalam suratnya Kartini bercerita tentang tata krama yang ketat itu.
Misalnya, adik-adik Kartini tidak boleh berjalan mendahuluinya, kecuali merangkak dan merendah di hadapannya.
Tak hanya itu, jika Kartini melintas saat adiknya duduk di kursi, adiknya harus turun dari kursi dan duduk di bawah dengan kepala tertunduk sampai Kartini jauh melewatinya.
Baca juga: Kartini, Raden Ajeng yang Kesal Dipanggil dengan Gelar Bangsawannya
Kemudian jika ada makanan enak di atas meja, maka yang usianya lebih muda tidak boleh menyentuhnya sebelum yang lebih tua mengambilnya.
Seolah jengah dengan aturan-aturan itu, Kartini pun menulis dalam suratnya:
"Kepala saya merupakan yang terhormat. Adalah larangan keras untuk mereka sentuh (kepala saya), kecuali dengan izin khusus saya dan setelah beberapa kali menyembah."
Kepada Estella dia menyampaikan bahwa Estella akan menggigil jika berada di lingkungan keluarga seperti itu.
Bahkan untuk memanggil 'aku' dan 'engkau saja, kata Kartini, tidak diperbolehkan.
Itu pun setelah menyampaikan kalimat kepada Kartini, maka adik-adiknya harus memberikan sikap hormat dengan cara menangkupkan kedua telapak tangan dan diangkat ke bawah hidung.
Baca juga: Dilema Kartini, Perempuan yang Menuntut Pendidikan Setara dan Pentingnya Peran Ibu