JAKARTA, KOMPAS.com - Pesta demokrasi tahun 1999 rasa-rasanya tak akan pernah terlupakan oleh seorang perempuan yang kini menjabat sebagai Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ini.
Bagaimana tidak, bagi Titi Anggraini, pesta demokrasi yang disebut sebagai pemilihan umum (pemilu) itu menjadi batu lompatan untuk menapaki karirnya hingga seperti saat ini.
Saat itu, Titi yang masih menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu didapuk menjadi salah satu wakil mahasiswa di Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Pusat.
Kepada Kompas.com, wanita yang telah menggeluti dunia kontestasi politik selama lebih dari 20 tahun itu nampak bersemangat melanjutkan ceritanya untuk mengenang masa-masa awal mula terjun ke dunia Pemilu.
Pada 1999, perempuan kelahiran 12 Oktober 1979 itu berdampingan dengan beberapa tokoh akademik sekelas Todung Mulya Lubis, Mulyana W Kusumah, Miriam Budiardjo, Jalaluddin Rakhmat hingga Ramlan Surbakti di Panwaslu.
"Ini lompatan pengalaman luar biasa. Bayangkan, mahasiswi semester 4 bergaul dengan para anggota Panwaslu yang memiliki nama-nama besar semua. Ini bisa dikatakan lompatan pergaulan saya dari seorang mahasiswa biasa, kemudian bergaul dengan tokoh-tokoh bangsa," kata Titi, Jumat (16/4/2021).
Reaksi Titi itu tak berlebihan. Karena memang benar, sosok-sosok yang berdampingan dengannya menjadi pengawas pemilu saat itu, bukanlah kaleng-kaleng.
Kendati demikian, perempuan lulusan SMAN 70 Bulungan, Jakarta Selatan bukan merupakan satu-satunya mahasiswa yang menjadi anggota Panwaslu kala itu.
Baca juga: Brigjen Ida Oetari Poernamasasi: Saya Pejuang Gender
Titi pun menyebut ada tiga kawan lain yang sama-sama mahasiswa Universitas Indonesia, turut bersamanya di Panwaslu.
"Jadi yang terpilih dari Universitas Indonesia itu ada empat mahasiswa dan dua dosen. Jadi ada enam perwakilan dari Universitas Indonesia yang kemudian diangkat menjadi anggota Panwaslu tingkat pusat untuk Pemilu 1999," jelasnya.
Menyukai tata kelola negara sejak SMA
Terpilihnya Titi menjadi salah satu mahasiswa yang turut andil dalam Panwaslu tak serta merta datang begitu saja.
Kesukaan Titi terhadap dunia politik, sejarah, dan tata kelola negara menjadi faktor penting terpilihnya ia sebagai anggota Panwaslu Pemilu 1999.
Diakuinya, kesukaan terhadap bidang-bidang tersebut bahkan sudah muncul sejak ia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA).
"Saya memang dari SMA senang sekali dengan sejarah, tata negara. Itu menjadi salah satu alat bantu saya dalam membangun kepercayaan diri," ujarnya.
Berawal dari kesukaannya terhadap mata pelajaran non eksakta itulah yang mengantar Titi jatuh cinta pada dunia hukum tata kelola negara.
Lulus SMA, ia pun melanjutkan kecintaannya itu dengan masuk Universitas Indonesia Fakultas Hukum pada tahun 1997.
Saat itu, disebutnya belum ada jurusan hukum tata negara, melainkan baru berupa program kekhususan.
"Alhamdulillah saya punya sedikit modal waktu itu karena saya jurusan hukum tata negara. Dulu belum jurusan namanya. Namanya program kekhususan hukum tata negara," kenangnya.
Baca juga: Pantang Pulang Sebelum Padam ala Irma Hidayana, Inisiator Platform LaporCovid-19
Mahasiswa berprestasi yang sempat jadi 'Nasakom'
Bagi generasi mahasiswa jadul alias jaman dulu, kata 'nasakom' atau nasib satu koma tentu selalu melekat dalam ingatan.
Julukan itu melekat bagi mahasiswa yang mendapatkan Indeks Prestasi (IP) semesternya yaitu satu koma (1,).
Meski merupakan mahasiswa berprestasi dan diperhitungkan, Titi rupanya pernah merasakan menjadi mahasiswa Nasakom.
Diakuinya, IP tersebut diperoleh ketika Titi aktif di Panwaslu Pemilu 1999. Terlalu lama mengurus Panwaslu pun diakuinya menjadi faktor 'ketertinggalan' di dunia perkuliahan yang menyebabkan IP semester Titi saat semester 5 hanya 1,73.
"Karena kelamaan ngurusin Panwaslu, saya itu termasuk sebelum di Panwaslu itu adalah mahasiswa yang baik. IP saya tidak pernah di bawah 3,5. Ketika di Panwaslu, kan mengawasi pemilu sangat aktif, saya mengalami Nasakom. IP saya itu 1,73," tuturnya.
"Selama satu semester bisa dikatakan saya jarang sekali hampir tidak pernah bisa masuk kuliah, kampus. Bahkan ikut ujian ala kadarnya karena tugas berkeliling Indonesia," sambung dia.
Meski memperoleh IP yang tentu tak diharapkan, Titi mengaku tak menyesal lantaran pembelajaran yang didapat di Panwaslu toh dapat mengantarnya sebagai pegiat demokrasi hingga kini.
Ia mengatakan, selama di Panwaslu, dirinya mendapat banyak pelajaran dan nilai demokrasi yang sesungguhnya dari para tokoh besar di sana.
Baca juga: Penny Lukito, Kepala BPOM Pilihan Jokowi yang Ditemani Keberanian dan Modal Pendidikan
"Saya terlibat di Panwaslu tahun 1999 dan saya belajar, dibimbing betul-betul secara cepat ya. Dipaksa untuk mengimplementasikan ilmu saya di sana. Dan di situlah saya belajar soal nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya dari para tokoh bangsa dan dari proses pemilu bersejarah tahun 1999," kata Titi.
Lulus cum laude bekerja di LSM
Singkat cerita, perjuangan Titi untuk menuntaskan perkuliahannya setelah selesai di Panwaslu pun datang juga.
Agaknya, pernah menjadi mahasiwi 'nasakom' tak membuat Titi putus asa. Justru, ia mampu menuntaskan perkuliahannya dengan predikat cum laude pada 2001, bahkan menjadi mahasiswa berprestasi utama di Fakultas Hukum UI.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.