JAKARTA, KOMPAS.com - Transparansi data penanganan Covid-19 masih menjadi persoalan, meski pandemi telah melanda Indonesia selama satu tahun.
Sampai saat ini pemerintah dinilai belum transparan, terutama terkait data pemeriksaan laboratorium polymerase chain reaction (PCR) di tingkat kabupaten atau kota dan provinsi.
Insiator LaporCovid-19 Irma Hidayana mengaku masih kesulitan mengakses data tes PCR secara terbuka.
"Yang masih sama sekali tidak transparan adalah data tes PCR itu. Tidak dikeluarkan, tidak dipublikasikan dan tidak bisa diakses oleh publik di level kabupaten, kota dan provinsi," kata Irma, saat wawancara dengan Kompas.com, Selasa (6/4/2021).
Baca juga: Ganjar: Ada Daerah Bebas Covid-19 Raih Penghargaan, padahal Tak Pernah Testing...
Menurut Irma, hanya beberapa provinsi saja yang sering memperbarui data jumlah tes PCR, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat dan DI Yogyakarta.
Namun, mayoritas provinsi lainnya tidak pernah mempublikasikan data jumlah tes, terlebih lagi pada tingkat kabupaten atau kota.
"Apalagi kabupaten kota mereka sama sekali tidak pernah mempublikasikan jumlah tes," ujarnya.
Irma menduga ada unsur kesengajaan pemerintah daerah tidak membuka data jumlah tes.
Pasalnya, jumlah tes PCR akan menentukan rapor pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19.
"Kita cuma dikasih tahu secara nasional, positivity rate-nya adalah 17,9 persen atau 19, sekian persen misalnya. Tapi itu jumlah kasus yang positif dibagi seluruh nasional," tuturnya.
"Padahal kalau kita lihat proporsi jumlah tes yang dilakukan di DKI jakarta itu selalu sekitar 40 persen atau bahkan lebih. Jadi bayangin sisanya itu dibagi jumlah tes di provinsi lain, berarti kan kecil-kecil sekali," kata Irma.
Baca juga: LaporCovid-19: Kondisi Pandemi di Indonesia Masih Buruk
Selain itu, Irma menuturkan, pemerintah tidak pernah memiliki jawaban yang pasti ketika ditanya mengenai transparansi data.
"Jadi ada yang mereka enggak mau jawab, ada yang jawabnya diplomatis. Tidak ada yang menjawab langsung ini tidak dipublikasikan karena apa. Itu tidak ada yang menjawab seperti itu," ujar Irma.
Pentingnya transparansi data
Persoalan transparansi data ini pernah diungkapkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Ia menyebut ada kepala daerah di wilayahnya yang sengaja tidak melakukan tes dan pelacakan kasus Covid-19.
Dengan cara itu, kepala daerah tersebut berharap wilayahnya bisa terus berada di zona hijau atau tanpa kasus. Kendati demikian Ganjar tak menyebut daerah yang ia maksud.
Ganjar mengaku, awalnya ia mengapresiasi daerah yang tanpa kasus itu. Namun akhirnya ia mengetahui, tak ada tes dan pelacakan di daerah tersebut.
"Ada yang ingin (zona) hijau, mau dapat penghargaan, tapi enggak pernah tes," kata Ganjar dalam diskusi yang digelar Harian Kompas bersama Kagama secara virtual Sabtu (24/10/2020).
Baca juga: Satgas Ingatkan Kepala Daerah agar Transparan soal Data Kasus Covid-19
Secara terpisah, Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengingatkan seluruh kepala daerah agar transparan mengenai data kasus Covid-19.
Menurut Wiku, jika data tidak dilaporkan secara transparan, justru berbahaya untuk daerah itu dan daerah lain.
"Hal ini tidak hanya membahayakan daerah tersebut, tetapi daerah-daerah yang ada di sekitarnya," ujar Wiku ketika dikonfirmasi Kompas.com, Senin (27/9/2020).
"Bahkan membahayakan Indonesia, mengingat mobilitas masyarakat yang semakin longgar saat ini," tutur dia.
Baca juga: Penjelasan Wamenkes soal Data Covid-19 yang Tak Sinkron antara Pusat dan Daerah
Wiku meminta setiap pemerintah daerah mengutamakan transparansi data dalam pelaporan Covid-19.
Sebab, penggambaran kondisi daerah sangat penting dalam menentukan pemilihan aksi strategi.
"Jika pencatatan data representatif maka pemilihan aksi strategis akan lebih tepat. Pimpinan daerah sudah sepatutnya bertanggungjawab dengan daerah," tegas Wiku.
Data tidak sinkron
Persoalan lain yang muncul yakni terkait sinkronisasi data antara pemerintah pusat dan daerah.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengakui data Covid-19 yang dimiliki pemerintah pusat tidak sinkron dengan pemerintah daerah.
Menurut Dante, masalah sinkronisasi itu terjadi karena data yang disampaikan pemerintah daerah ke pemerintah pusat adalah kasus Covid-19 yang terjadi beberapa hari sebelumnya.
"Kendalanya adalah ketika pemerintah daerah melaporkan (kasus) maka kasus kejadiannya itu beberapa hari sebelumnya yang dilaporkan ke pusat," kata Dante dalam konferensi pers melalui kanal YouTube BNPB, Selasa (9/3/2021).
Baca juga: Satgas Covid-19: Tidak Mudah untuk Satukan Data Pusat dan Daerah
Dante menjelaskan, pemerintah daerah melaporkan kasus Covid-19 yang terjadi beberapa hari sebelumnya karena kemampuan laboratorium terbatas.
"Karena kemampuan laboratorium yang terbatas untuk melakukan pemeriksaan satu hari," ujarnya.
Kendati demikian, Dante menilai, ketidaksinkronan data Covid-19 masih dalam batas toleransi.
"Kalau ada beda dengan daerah maka masih dalam batas toleransi," ucapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.