Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Subkhi Ridho
Pendidik dan Peneliti Sosial-Keagamaan

Wakil Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Inggris Raya periode 2018-2019, pendidik dan peneliti sosial-keagamaan.

Mendesak Kontekstualisasi Pancasila

Kompas.com - 05/03/2021, 17:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PANCASILA sebagai dasar dan ideologi negara telah lama absen dalam diskursus masyarakat umum. Sekiranya dalam diskursus saja terlewat, maka jauh panggang dari api rasanya jika berharap ia dipraktikkan secara konsisten oleh tiap-tiap warga negara dari Merauke hingga Sabang. Pernyataan ini bukan isapan jempol belaka, mengacu pada hasil riset dari beberapa lembaga terkemuka di republik ini.

Pada 2017 lalu, Center for Strategic and International Studies (CSIS), melakukan survei mengenai Pancasila, yang hasilnya tidak sedikit masyarakat yang menghendaki ideologi lain bagi Indonesia. Sekurang-kurangnya, 10 persen milenial menyetujui jika Pancasila diganti oleh ideologi lain.

Riset lain dilakukan juga oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI), yang menyatakan bahwa jumlah masyarakat yang pro Pancasila semakin menurun. Dalam survei LSI tersebut dijelaskan, pada 2005 publik yang pro Pancasila masih mencapai 85,2 persen.

Lima tahun kemudian, pada 2010, prosentasenya turun tinggal 81,7 persen. Lalu pada 2015, turun kembali menjadi 79,4 persen. Sementara di survei 2018, angkanya semakin mengecil tinggal 75,3 persen masyarakat yang pro Pancasila. Penurunan jumlah hingga 10 persen tentu tidak boleh dianggap sepele, apalagi diabaikan begitu saja.

Berikutnya survei dari Alvara Research Center yang hasilnya mendapatkan, 19,4 persen PNS tidak setuju Pancasila. Survei Alvara ini dilakukan pada 10 September sampai 5 Oktober 2017 di 6 kota yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar.

Sebuah hasil yang sangat mencengangkan, mengingat PNS hidup dari gaji rakyat yang berasal dari latar belakang bermacam-macam, dan semestinya di pundak PNS lah Pancasila dapat ditegakkan dan dijaga secara terus-menerus.

Survei mutakhir dilakukan oleh Komunitas Muda Pancasila, “komunitas anak muda milenial yang peduli terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara dengan cara mengamalkan nilai nilai Pancasila”, muncul sejak 2018 lalu.

Mereka menyatakan telah memiliki 400 anggota dari alumni Sekolah Pancasila Muda. Pada Mei 2020 lalu, komunitas ini melakukan survei mengenai Pancasila, dengan sasaran usia 18-25, yang aktif menggunakan instagram dan facebook, baik yang tinggal di kota besar maupun di kawasan rural di 34 provinsi.

Hasilnya hanya 61 persen yang masih yakin dan setuju bahwa Pancasila sangat penting dan relevan. Sementara 19,5 persen menganggap netral atau biasa saja terhadap Pancasila. Sedangkan 19,5 persen lainnya merasa Pancasila tidak lagi dianggap penting atau relevan bagi kehidupan mereka.

Temuan survei dari Komunitas Muda Pancasila ini senada dengan survei LSI pada 2018 di atas. Sungguh merupakan PR yang amat besar untuk dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap Pancasila, terlebih di kalangan Gen Y (lahir 1981-1996) sebesar 25,87 persen, Gen Z (1997-2012) sejumlah 27,94, dan Generasi Alfa (2013- dst) sejumlah 10,88 persen, yang sekarang mulai memasuki usia SD.

Padahal, berdasarkan hasil sensus penduduk dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada September 2020 lalu, jumlah tiga generasi ini mencapai 64,69 persen, artinya separuh lebih dari total populasi Indonesia saat ini yaitu 270,20 juta jiwa.

Mengapa Pancasila tidak dikenali publik?

Ada banyak argumentasi mengapa Pancasila tidak lagi menghiasi ruang publik kita. Ahmad Doli Kurnia, Ketua Komisi II DPR RI, dalam disertasinya misalnya menyatakan “terjadi kekosongan pembinaan Pancasila selama 20 tahun sejak masa reformasi pada 1998.”

Baru di era Presiden Jokowi, itupun tahun ketiga, dibentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Pada 2018 lalu, dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) yang menaikkan statusnya menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila ( BPIP), hingga saat ini.

Sementara dari banyak survei diketahui bahwa Pancasila tidak lagi diajarkan secara tersendiri di sekolah, burung Garuda sebagai lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia sebatas tertempel dengan rapi di dinding-dinding kelas maupun perkantoran pemerintah namun miskin implementasi, pun sekadar seremonial.

Artinya “wajar” sekiranya publik kita mulai amnesia terhadap Pancasila. Andaikata para pendiri bangsa masih hidup, hemat saya para pahlawan ini akan menangis menyaksikan secara kasat mata masyarakatnya, terlebih sebagian pengelola negeri sudah mulai mengabaikan Pancasila yang sudah menjadi konsensus nasional sebagai dasar dan ideologi negara, sebagaimana tergambar dengan gamblang dari survei terhadap PNS mengenai sikap dan pendapat mereka kepada Pancasila di atas.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

Nasional
KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

Nasional
Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Nasional
Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Nasional
TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

Nasional
Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
 Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Nasional
Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Nasional
RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

Nasional
 Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Nasional
Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Nasional
Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang 'Toxic', Jokowi: Benar Dong

Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang "Toxic", Jokowi: Benar Dong

Nasional
Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Nasional
Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Nasional
Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Rp 37 Miliar karena Kabulkan PK Eks Terpidana Megapungli di Pelabuhan Samarinda

Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Rp 37 Miliar karena Kabulkan PK Eks Terpidana Megapungli di Pelabuhan Samarinda

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com