JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) Artidjo Alkostar tutup usia pada Minggu (28/2/2021) sekitar pukul 14.00 WIB.
Kabar itu pun telah dikonfirmasi oleh anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris.
“Benar (Artidjo meninggal hari ini). Sakit apa belum tahu,” ungkap Syamsuddin ketika dihubungi Kompas.com, Minggu.
Artidjo dikenal sebagai sosok yang bersih dan ditakuti oleh koruptor saat dirinya masih bertugas di Mahkamah Agung (MA).
Artidjo mengawali karirnya sebagai advokat. Setelah menjadi advokat selama 28 tahun, Artidjo menjabat sebagai hakim agung terhitung sejak tahun 2000.
"Tercebur di Dunia Hukum"
Dikutip dari pemberitaan Kompas.com, September 2019, tertulis bahwa Artidjo muda besar di Situbondo. Waktu SMA dia mengambil jurusan ilmu alam (sekarang IPA).
Lulus SMA, pria kelahiran Situbondo, 22 Mei 1949 ini ingin mendaftar di Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Baca juga: Mahfud MD: Artidjo Alkostar Meninggal Dunia karena Sakit Jantung dan Paru-paru
"Saya menitipkan untuk didaftarkan ke teman saya, Mas Said, dia orang UII (Universitas Islam Indonesia)," kata Hakim Agung ini di acara Satu Meja yang ditayangkan Kompas TV, Senin (12/9/2016).
Saat itu, Said mengabarkan bahwa pendaftaran ke UGM sudah ditutup.
"Saya terlambat," katanya kepada pemandu acara Satu Meja, Budiman Tanuredjo.
Koleganya mengusulkan agar Artidjo mendaftar ke Fakultas Hukum UII sambil menunggu pembukaan pendaftaran UGM tahun depan. Sekalian juga untuk menyesuaikan dengan kehidupan Kota Yogyakarta.
"Saya setuju. Dari pada di Situbondo saya bengong," ujar mantan Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung ini.
Baca juga: KPK: Kami Sangat Berduka atas Wafatnya Pak Artidjo Alkostar...
Setelah didaftarkan dan lulus, Artidjo ternyata menikmati kuliah di fakultas hukum. Apalagi setelah mengikuti kegiatan organisasi kemahasiswaan. Dia malah melupakan cita-cita masuk Fakultas Pertanian UGM.
"Saya enjoy dan malah tak berminat lagi ke fakultas pertanian," tuturnya.
Baca juga: Obituari - Artidjo Alkostar, Vonis Berat Kasasi, dan Kontroversinya