JAKARTA, KOMPAS.com - Paguyuban Korban UU ITE (Paku ITE) membagi tiga pihak yang sering menggunakan pasal karet pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk melaporkan seseorang.
Koordinator Paku ITE Muhammad Arsyad mengatakan, tiga pihak tersebut adalah pemerintah atau pejabat negara, pemodal atau pengusaha, serta penegak hukum.
Menurut Arsyad, tiga pihak ini ia dapatkan dari hasil pengakuan para anggota dari Paku ITE, yang merupakan penyintas yang dianggap melanggar UU ITE.
Baca juga: Tak Satu Suara, Keseriusan Pemerintah soal Revisi UU ITE Diragukan
"Pejabat negara paling banyak melaporkan, karena banyak masyarakat yang mengadukan kritikan terkait program atau kinerja pemerintah di pusat dan daerah," kata Arsyad dalam diskusi daring yang diadakan oleh PETA ITE dan Safenet, Jumat (19/2/2021).
"Dilaporkannya seseorang tersebut dengan pencemaran nama baik," ujar dia.
Aryad melanjutkan, pengusaha atau perusahaan juga kerap melaporkan seseorang dengan menggunakan UU ITE.
Dia mengatakan, perusahaan biasa menggunakan UU ITE untuk melaporkan buruhnya yang menuntut hak terkait pesangon, atau ketika terjadi pemecatan sepihak.
"Banyak buruh yang dilaporkan dengan UU ITE karena mereka menuntut hak-haknya seperti pesangon, atau mengalami pemecatan sepihak misalnya. Ketika mereka mem-post keluhannya di social media, perusahaan melaporkan buruh-buruh untuk dipenjara menggunakan pasal karet," kata Arsyad.
Baca juga: Kapolri: Polisi Serba Salah Terima Laporan Perkara UU ITE
Arsyad juga menuturkan bahwa perusahaan melakukan pelaporan dengan UU ITE agar tercipta negosiasi dengan para buruhnya.
Negosiasi itu dilakukan untuk membungkam para buruh dalam memperjuangkan hak mereka.
"Setelah dilaporkan terjadilah negosiasi, buruh ditawarkan tidak menuntut pesangonnya, sehingga laporan dari perusahaan dicabut," kata Arsyad.
Sedangkan pihak terakhir yang disebut Arsyad adalah penegak hukum. Arsyad menceritakan bahwa ada oknum kepolisian yang menjadi fasilitator proses negosiasi antara pelapor dengan terlapor.
Ini dilakukan agar terlapor mau menjalankan permintaan tertentu yang diminta pelapor, dengan imbalan pencabutan laporan pada pihak kepolisian.
"Pada beberapa kasus yang kami temui, oknum-oknum penegak hukum ini jadi jembatan untuk terjadinya negosiasi antara pelapor dengan terlapor, agar tuntutan-tuntan kepada terlapor dicabut," kata dia.
Baca juga: Menkominfo: Pemerintah Kaji Pedoman Interpretasi Maupun Revisi UU ITE
Dengan demikian, Arsyad berharap bahwa revisi UU ITE tidak sekedar menerbitkan pedoman interpretasi, namun pencabutan atau penghilangan Undang-Undang ITE sakaligus yang dilakukan.