Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jusuf Kalla: Pak Din Syamsuddin Sangat Tidak Mungkin Radikal

Kompas.com - 15/02/2021, 17:18 WIB
Fitria Chusna Farisa,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menilai, eks Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin bukan sosok radikal.

Hal ini Kalla sampaikan menanggapi laporan Gerakan Anti Radikalisme (GAR) Alumni ITB terhadap Din Syamsuddin ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).

“Pak Din sangat tidak mungkin radikal, dia adalah pelopor dialog antar agama dan itu tingkatannya internasional," kata Kalla melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Senin (15/2/2021).

Baca juga: Din Syamsuddin Dituduh Radikal, Fraksi PAN di DPR: Tuduhan Itu Menyakiti

Menurut Kalla, Din Syamsuddin merupakan tokoh yang sangat toleran. Din bahkan keliling ke banyak negara untuk membicarakan perdamaian antar umat beragama.

Oleh karenanya, Kalla heran dengan pihak yang menuding Din sebagai tokoh radikal.

"Saya sering bilang ke dia (Din Syamsuddin), Pak Din, Anda ini lebih hebat daripada Menlu, selalu keliling dunia hanya berdiskusi dalam hal perdamaian dan inter religius. Jadi orang begitu tidak radikal, sama sekali tidak radikal," ujarnya.

Terkait status Din sebagai aparatur sipil negara (ASN) sehingga dinilai tidak etis mengkritik pemerintah, Kalla mengatakan, Din bukan ASN yang berada di struktur pemerintahan, tapi fungsional akademis.

ASN sendiri terbagi menjadi dua, yakni yang berada di struktur pemerintahan dan tidak boleh mengkritik pemerintah, serta ASN akademis seperti Din.

Ketika seorang akademisi memberikan pandangan yang bertentangan dengan pemerintah, kata Kalla, hal itu tak melanggar etika ASN. Sebab, tugas akademisi adalah memberikan pandangan lain sesuai dengan dengan latar keilmuan.

Menurut Kalla, ASN yang berprofesi sebagai dosen pun banyak yang berpandangan kritis kepada pemerintah dan bukan hanya Din seorang. Ia mencontohkan dosen Universitas Indonesia, Faisal Basri, yang juga kerap mengkritik pemegang kuasa.

"Ini bukan soal etik mengkritik sebagai ASN tapi dia mempergunakan suatu keilmuannya untuk membicarakan sesuatu," terang Kalla.

Untuk itu, Kalla meminta para pihak untuk menghormati pandangan Din. Ia berharap agar tidak ada lagi perundungan terhadap para akademisi yang berstatus sebagai ASN dan memberikan pandangan kritis ke pemerintah.

Menurut Kalla, pandangan alternatif dari akademisi akan selalu dibutuhkan oleh pemerintah agar negara tak jadi otoriter.

“Jadi kalau ada yang mau mempersoalkan posisi Pak Din sebagai ASN dan pandangannya kepada pemerintah, berarti dia tidak ngerti tentang undang-undang, dan bahwa anggota GAR itu alumni ITB tapi ITB secara institusi juga sudah mengatakan bahwa mereka bukan organisasi resmi dari ITB," kata Kalla.

Baca juga: Kritik-kritik Din Syamsuddin kepada Pemerintah yang Memicu Pelaporan oleh GAR ITB

Untuk diketahui, GAR Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) melaporkan Din Syamsuddin kepada KASN dan BKN atas dugaan pelanggaran disiplin ASN, Selasa (10/11/2020).

Juru Bicara GAR ITB Shinta Madesari mengatakan, laporan tersebut sudah dirilis sejak 28 Oktober 2020 dan dikirim melalui email dan pos ke semua tujuan yang ada di dalamnya.

"Sebagai tindak lanjut dari pelaporan tersebut, Selasa 10 November kemarin kami menghadap Ketua KASN untuk menyampaikan laporan tertulis secara langsung agar dapat segera ditindaklanjuti oleh KASN," kata Shinta saat dikonfirmasi Kompas.com, Jumat (13/11/2020).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Nasional
MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

Nasional
Paradoks Sejarah Bengkulu

Paradoks Sejarah Bengkulu

Nasional
Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Nasional
Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Nasional
Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Nasional
Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Nasional
Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Nasional
Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Nasional
Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Nasional
Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Nasional
KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

Nasional
Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Nasional
Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi 'Doorstop' Media...

Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi "Doorstop" Media...

Nasional
Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com