JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Pasal 8 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pornografi yang diajukan seorang perempuan berinisial PA.
Dalam pertimbangannya, MK menilai permohonan PA tidak beralasan menurut hukum.
"Pokok permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan dalam sidang yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, dipantau melalui tayangan YouTube MK RI, Rabu (25/11/2020).
PA merupakan terdakwa kasus video porno yang tengah menjalani masa hukumannya.
Ia menggugat Pasal 8 UU Pornografi yang berbunyi, "Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi".
Baca juga: UU Pornografi Diuji ke MK, Komnas Perempuan Singgung Urgensi RUU PKS
Menurut PA, berlakunya ketentuan tersebut telah merugikan dirinya.
Sebab, PA yang sejatinya merupakan korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) justru dipidana karena dianggap menyediakan diri sebagai objek atau model pornografi sehingga melanggar Pasal 8.
Namun, terkait pendapat PA itu, MK berpandangan bahwa penjelasan Pasal 8 UU Pornografi telah mengatur secara tegas tentang pengecualian berlakunya pasal tersebut.
Dijelaskan bahwa, apabila seorang objek atau model muatan pornografi mengalami pemaksaan, ancaman atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain, maka ia tidak dipidana.
Baca juga: UU Pornografi Dinilai Belum Menjawab Kerentanan Perempuan, Tafsir MK Diperlukan
Kendati demikian, paksaan, ancaman atau tekanan orang lain itu harus dapat dibuktikan mulai dari proses penyelidikan oleh aparat kepolisian.
Demikian juga pada saat pemeriksaan persidangan, hakim di lingkungan peradilan umum mengedepankan prinsip praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Oleh karenanya, jika pasal tersebut dihilangkan sebagaimana permintaan PA, MK berpendapat bahwa hal ini justru berpotensi menimbulkan kriminalisasi.
"Oleh karena itu, apabila norma Pasal 8 UU 44/2008 tersebut dinyatakan bertentangan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, hal tersebut justru akan kontraproduktif dengan semangat untuk memberantas pornografi di Indonesia dan justru akan berpotensi menimbulkan kriminalisasi bagi setiap orang yang dalam posisi mendapatkan paksaan atau ancaman atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain," ujar Hakim Arief Hidayat.
Baca juga: Perempuan di Video Seks Garut, Dijual Suami hingga Dijadikan Tersangka UU Pornografi
Terkait dalil PA yang menilai bahwa Pasal 8 UU Pornografi tak melindungi hak warga negara khususnya perempuan, Mahkamah berpendapat lain.
Menurut Mahkamah, adanya frasa "setiap orang" dalam pasal tersebut tidak mengandung bias perlindungan gender. Artinya, ketentuan ini tidak hanya ditujukan bagi jenis kelamin tertentu.
Dalam konteks perlindungan terhadap perempuan, menurut Mahkamah, sebenarnya telah tegas dinyatakan bahwa salah satu tujuan dari pembentukan UU Pornografi adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan (vide Pasal 3 huruf d UU 44/2008).
Hal ini disebut sebagai bentuk respons negara untuk mengatasi fenomena di masyarakat yang masih menempatkan perempuan sebagai sasaran utama dalam banyak kasus asusila.
"Hadirnya UU 44/2008 adalah untuk melindungi semua orang tanpa mengenal jenis kelamin tertentu," kata Arief.
Baca juga: Video Mesum di Garut, Jadi Tersangka UU Pornografi hingga Mantan Suami Meninggal karena Sakit
Diberitakan, perempuan berinisial PA mengajukan permohonan uji materil atas Pasal 8 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pornografi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
PA tengah menjalani masa tahanan karena dijerat Pasal 8 UU Pornografi dalam kasus video porno di Garut. Pemohon mengaitkan pasal tersebut dengan kasus yang menjeratnya.
Kasus itu bermula dari kebiasaan suami pemohon merekam aktivitas mereka saat berhubungan suami-istri, dengan alasan kepentingan pribadi. Pemohon tidak pernah melihat dan mengetahui isi rekaman itu.
Namun, setelah pemohon berpisah dari suaminya, tanpa sepengetahuan pemohon, video rekaman tersebut disebarkan oleh sang mantan suami dengan alasan komersil.
Baca juga: Sebarkan Video Masturbasi Bisa Terjerat UU ITE dan UU Pornografi
Atas kejadian itu, pemohon melapor ke polisi.
Akan tetapi, polisi justru menangkap pemohon karena dianggap menyediakan diri sebagai model atau objek pornografi yang melanggar Pasal 8 UU Pornografi.
Oleh karena itu, pemohon menilai bahwa ketentuan Pasal 8 UU Pornografi menjadi rancu dan menimbulkan abuse of power.
"Bahwa dengan norma ini siapapun berpotensi menjadi pelanggar sekalipun dimaksudkan untuk kepentingan pribadi ataupun atas alasan-alasan pemaksaan, ancaman, tipu daya," kata pemohon dalam berkas permohonannya yang diunggah laman MK RI.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.