RATUSAN birokrat (Aparatur Sipil Negara/ASN) dilaporkan ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) atas dugaan pelanggaran netralitas terkait penyelenggaraan tahapan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Data per-30 September 2020, terdapat 694 pegawai ASN dilaporkan melakukan pelanggaran netralitas.
Fenomena ini mengundang pernyataan dari Wakil Presiden RI, KH Ma’ruf Amin agar seluruh ASN menjaga dan menangkal politisasi birokrasi yang akan menjauhkan dari reformasi birokrasi. Baca: Jelang Pilkada 2020, Wapres Ingatkan soal Netralitas ASN.
Bagi penulis, masalah netralitas birokrasi seperti kasus yang nyaris abadi. Bukan rahasia lagi jika di masa Orde Baru, birokrasi merupakan salah satu mesin pemenangan Golkar sebagai peserta pemilu.
Saking besar perannya, Afan Gafar dalam bukunya menulis, birokrasi diberi tempat khusus oleh Golkar yang diakui keberadaannya dengan dibentuknya jalur B selain jalur A bagi keluarga besar ABRI dan C unuk organisasi massa yang mendukung Golkar (Afan Gaffar, 2006:23).
Hal ini yang kemudian hendak dikoreksi di masa reformasi. Maka, terbit berbagai regulasi yang menghendaki netralitas birokrasi.
Sampai saat ini berbagai produk hukum baik tersurat maupun tersirat menegaskan pentingnya netralitas birokrasi. Seperti UU No 5/2014 tentang ASN, PP No 37/2004 tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi Anggota Parpol dan PP No 53/2010 tentang Disiplin PNS.
Namun regulasi seperti itu tidak membuat jera. Sampai saking seriusnya, Menpan-RB, Kepala BKN, Ketua KASN dan Ketua Bawaslu menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Pengawasan Netralitas Pegawai ASN dalam Penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2020.
SKB ini tidak hanya melembagakan penguatan pengawasan namun sekaligus pula menerapkan pelbagai sanksi terukur dengan didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perdebatan netralitas birokrasi tidak saja menjadi pertarungan sejati antara regulasi dan implementasi. Namun didukung pula perbedaan para filsuf dalam memandang netralitas birokrasi.
Hegel (1770-1831) memahami birokrasi merupakan jembatan “penghubung” antara masyarakat (the civil society) dengan negara (the state).
Saat itu, masyarakat mencerminkan kaum pengusaha dan kelompok profesional sebagai representasi kepentingan khusus. Sedang negara merepresentasikan kepentingan umum.
Maka, birokrasi berada ditengah yang memungkinkan pesan-pesan dari kepentingan khusus tersalurkan ke kepentingan umum.
Marx berbeda dengan Hegel. Bagi Marx (1818-1883), negara tidak mewakili kepentingan umum. Melainkan kepentingan khusus, yaitu kelas dominan.
Bagi Marx, birokrasi tidak bisa netral. Ia harus memihak, yaitu kelas dominan. Sebab, birokrasi merupakan instrumen yang menempatkan kelas dominan menjalankan dominasinya atas kelas sosial lainnya.