Sedangkan Hegel menghendaki birokrasi di tengah sebagai perantara tadi.
Bagaimana apabila di tarik ke alam kenyataan Indonesia. Penulis menyimpulkan, pelbagai regulasi yang menghendaki netralitas birokrasi merupakan cerminan dianutnya pemikiran Hegel.
Namun yang menarik, faktanya, ketika birokrasi berpihak, atas nama apapun, apa itu patron-klien ataupun kepentingan mempertahankan eksistensinya, pemikiran Marx yang mendominasi.
Terdapat pelbagai studi kenapa birokrasi berpihak atau tidak netral. Setidaknya studi Sudirman Dalim (Politisasi Birokrasi, 2010) dan Leo Agustino (Pilkada dan Dinamika Politik Lokal,2009) memberikan beberapa argumentasi.
Pertama, menjamurnya budaya patron-klien antara kepala daerah dan pejabat struktural dibawahnya.
Sebagai patron, memberikan kekuasaan mutlak bagi kepala daerah untuk menentukan relasi yang dibangun dengan bawahannya sebagai klien.
Dalam relasi seperti itu, ASN selaku klien harus tunduk dan patuh pada patronnya yaitu kepala daerah. Basis perekatnya bisa macam-macam.
Riset Sudirman Dalim di tahun 2010 untuk Sulawesi Selatan, perekatnya adalah etnis atau dengan kata lain faktor kekerabatan. Sementara di Banten, adanya pengaruh jawara saat incumbent Ratu Atut Chomsiyah menjadi gubernur.
Kedua, dilema birokrasi akibat regulasi. Di satu sisi, birokrasi merupakan pegawai atas nama negara bekerja. Namun di sisi lain ia harus menentukan sikap politik terutama ketika incumbent mencalonkan lagi jadi kepala daerah.
Sebab tegas disebutkan bahwa kepala daerah (sebagai delegasian kewenangan dari presiden) merupakan pembina PNS/ASN yang dapat mengangkat, memindahkan dan memberhentikan PNS (vide PP 11/2017 tentang Manajemen PNS).
Maka ini mempersukar karena kepala daerah merupakan jabatan politik yang menentukan nasib jabatan administratif dari PNS/ASN.
Meski berdasarkan Pasal 71 ayat (2) UU 10/2016 tentang Pilkada terdapat larangan kepala daerah mengganti pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai akhir masa jabatan kecuali mendapatkan izin tertulis dari menteri. Namun aturan ini belum dapat menenangkan birokrasi.
Ketiga, birokrasi akan selalu dipengaruhi tidak netral. Sebab, birokrasi merupakan personikasi negara sehingga mereka akan bermanfaat bila ditarik dalam pertarungan politik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan birokrasi, di manapun, ialah kemampuannya untuk mengkoleksi informasi dari dan di wilayah kemasyarakatannya.
Karena itu, birokrasi merupakan kekuatan tak terperi bagi para kandidat dalam pilkada. Maka, godaan bahkan rayuan maut agar birokrasi berpihak seakan menjadi niscaya.