Terhadap adanya resistensi di masyarakat mengenai kebijakan baru ini, Mendikbud menyampaikan hal tersebut wajar karena jika ingin melakukan perubahan maka harus dilakukan secara drastis.
“Saya harap semua orang mengerti bahwa di Indonesia tidak ada satupun bidang pemerintahan yang tidak harus ada lompatan. Semuanya butuh lompatan. Memang negara kita begitu besar dan kita harus mengejar," ujar Nadiem, Rabu (30/1/2020).
"Kalau tidak ada yang resisten artinya perubahan besar tersebut tidak cukup berdampak. Jadi saya melihat resistensi positif itu jadi tantangan buat kita.” kata dia.
Baca juga: Mendikbud Nadiem: Penyederhanaan Kurikulum Tidak Dilakukan sampai 2022
Mendikbud berharap agar kebijakan Merdeka Belajar akan semakin banyak mengundang partisipasi masyarakat untuk bergabung dalam proses pendidikan.
Ia menyampaikan jika hanya pemerintah yang maju maka kebijakan ini akan gagal. Oleh karena itu, harus ada perubahan pola pikir.
Sebab yang bisa melakukan pendidikan secara tepat, holistik, dan inklusif, dan relevan hanya kombinasi antara pendidikan dan masyarakat.
Program Organisasi Penggerak dan polemiknya
Program Organisasi Penggerak merupakan salah satu program unggulan Kemendikbud.
Program ini bertujuan memberikan pelatihan dan pendampingan bagi para guru penggerak untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan peserta didik.
Dalam program ini, Kemendikbud akan melibatkan organisasi-organisasi masyarakat maupun individu yang mempunyai kapasitas untuk meningkatkan kualitas para guru melalui berbagai pelatihan.
Baca juga: Nadiem: Kabar Gembira, Tidak Ada Sekolah Dana BOS-nya Turun Tahun 2021
Kemendikbud mengalokasikan anggaran Rp 595 miliar per tahun untuk membiayai pelatihan atau kegiatan yang diselenggarakan organisasi terpilih. Organisasi yang terpilih dibagi dalam 3 kategori yakni Gajah, Macan, dan Kijang.
Untuk Gajah dialokasikan anggaran sebesar maksimal Rp20 miliar/tahun, Macan Rp5 miliar per tahun, dan Kijang Rp1 miliar per tahun.
Atas kebijakan ini, Nadiem tak hanya menuai kritik dari Komisi X DPR tapi juga mendapat tamparan besar setelah organisasi besar dalam dunia pendidikan seperti PGRI, Lembaga Pendidikan Ma'arif PBNU, dan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah memutuskan mundur dari program ini.
Menanggapi itu, Nadiem Makarim mengatakan, masyarakat salah dalam memahami program ini.
Menurut Nadiem, masyarakat banyak yang menganggap POP merupakan implementasi dari alokasi dana pemerintah.
Baca juga: Mendikbud Nadiem Ajukan Anggaran Rp 1,49 Triliun untuk Digitalisasi Sekolah
Padahal, POP adalah program yang dirancang agar Kemendikbud dapat mempelajari model-model pedagogi yang ada dalam organisasi penggerak pendidikan.
“Program POP adalah semacam sayembara, semacam prototyping mengenai bagaimana jurus-jurus yang dimiliki berbagai macam organisasi di Indonesia apakah berhasil meningkatkan numerasi dan literasi, dan model-model itu yang akan dipelajari oleh kemendikbud dan dipetik untuk diambil menjadi suatu kebijakan nasional jika sukses,” tutur Nadiem.
Sebagai evalusasi dari polemik yang timbul, Mendikbud akhirnya memutuskan menunda POP.
Menurut Nadiem, ada beberapa faktor yang menjadi bahan evaluasi sebelum memutuskan akhirnya program POP ditunda.
Baca juga: Nadiem Makarim: Masalah Krisis Pendidikan Jarang Dibahas Saat Pandemi
Namun, ia mastikan bahwa program tersebut akan berjalan pada tahun 2021.
“Setelah kami evaluasi selama satu bulan, kami memutuskan, karena ada beberapa faktor, untuk menunda program POP untuk tahun 2020. Jadinya program POP itu akan mulai di tahun 2021,” kata Nadiem.