Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Teuku Kemal Fasya

Kepala UPT Kehumasan dan Hubungan Eksternal Universitas Malikussaleh dan Dewan Pakar PW Nadhlatul Ulama Aceh. 

Tersungkur di Tikungan Patah

Kompas.com - 19/10/2020, 05:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SITUASI politik nasional pascapengesahan UU Cipta Karya (UU CK) bisa dianalogikan seperti kisah dalam novel klasik karya sastrawan Nigeria, Chinua Achebe, Things Fall Apart (1958).

Novel poskolonial ini membicarakan tentang tubrukan kebudayaan, ketika sebuah
komunitas Ibo, kumpulan dari sembilan kampung di pedalaman Nigeria, mengalami
permasalahan dengan kolonialisasi Inggris dan kedatangan agama Kristen yang
membuat kepercayaan dan kebudayaan mereka tertekan dan berubah drastis.

Dalam kacamata Inggris dan misionaris, apa yang mereka berikan kepada masyarakat
pedalaman Afrika itu adalah berkah kemajuan dan modernisasi.

Peradaban Eropa mencoba menjauhi masyarakat dari tahayul, perang, dan kegelapan budaya primitif.

Akan tetapi masyarakat Ibo melihat apa yang dibawa orang asing itu adalah kiamat bagi
kepercayaan dan kebudayaan mereka yang teguh tergenggam ratusan tahun. Nilai-nilai
baru merusak ikatan sosio-kultural mereka.

Baca juga: Jokowi Utus Mensesneg Serahkan Naskah UU Cipta Kerja ke NU dan Muhammadiyah

Bagi Achebe, baik kaum misionaris dan orang kampung sama-sama bagai busur patah.
Mereka terseok dalam kecurigaan akibat kosongnya dialog. Akhirnya mereka harus
berperang, tak peduli lagi kerugian menyerta, demi nama baik dan identitas masing-
masing.

Omnibus Law sebagai keselamatan?

Ini pula yang dirasakan oleh buruh, mahasiswa, dan sebagian kalangan akademisi yang
sejak awal sudah menolak kehadiran omnibus law RUU Cipta Kerja.

Mereka menganggap kebaikan yang disodorkan pemerintah melalui RUU yang
menyaring lebih 70 undang-undang lain dengan 186 pasal itu palsu belaka.

Undang-undang itu dianggap badai la nina bagi nasib buruh. Pemerintah pun tak tergoyahkan, Jokowi meminta masyarakat yang tidak puas untuk melakukan judicial review (Kompas, 10/10/2020).

Baca juga: Beredar Lagi Versi Baru RUU Cipta Kerja, yang Mana Draf Finalnya?

Kisah tentang naskah rancangan undang-undang yang diajukan Presiden ini pun menjadi misteri hingga sepekan setelah disepakati DPR. Naskah final RUU tidak bisa terakses publik.

Ibarat thriller dalam cerpen Edgar Allan Poe, The Purloined Letter, publik sampai menunggu-nunggu manakah dari 905, 1.028, atau 1035 halaman yang merupakan naskah final.

Ternyata yang absah berjumlah 812 halaman! Meskipun Azis Syamsuddin, wakil ketua DPR RI, menyebutkan itu masalah ukuran kertas yang berbeda (Kompas.com, 13/10/2020), publik tak mudah legawa dan percaya.

Baca juga: Kemendikbud: 123 Mahasiswa Positif Covid-19 Setelah Demo UU Cipta Kerja

Uniknya, naskah final yang disetujui DPR itu pun masih memerlukan perbaikan. Pertanyaannya
untuk apa ketergesa-gesaan persetujuan DPR itu harus dilakukan?

Sikap bergerak cepat menunjukkan ada yang salah dengan undang-undang itu. Jika melihat beberapa RUU masih terbengkalai lama padahal telah diwacanakan ratusan hingga puluhan ribu jam seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan RUU Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP), umur RUU Cipta Kerja diibaratkan sangat balita.

Demikian pula ruang partisipasi publik mengendap begitu saja. Jika pun ada rapat dengar
pendapat, upaya sinkronisasinya tidak mudah disolidkan di tengah kepentingan kaum
kapitalis yang lebih menjulur di depan redaksi naskah.

Bahkan, Bank Dunia yang awalnya ikut mendorong hadirnya omnibus law ini juga
memberikan kritikan keras ketika rancangan undang-undang itu disetujuai DPR.

Ia dianggap bisa melukai buruh dan lingkungan di Indonesia karena sikap over-atraktif kepada investor dan pengusaha. Memang sejak awal kehadiran UU Cipta Kerja diharapkan menjadi jalan recovery bagi ekonomi Indonesia di tengah pandemi Covid-19.

Namun dengan sikap tidak hati-hati, ia berpeluang memojokkan buruh, lingkungan, dan politik agraria ke dalam enigma kerusakan dan kemiskinan.

Mahasiswa yang tergabung dalam BEM Seluruh Indonesia (SI) melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda Jakarta Pusat, Jumat (16/10/2020). Mereka menolak pengesahan omnibus law  Undang-undang Cipta Kerja.KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG Mahasiswa yang tergabung dalam BEM Seluruh Indonesia (SI) melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda Jakarta Pusat, Jumat (16/10/2020). Mereka menolak pengesahan omnibus law Undang-undang Cipta Kerja.

Dilema dalam pilihan

Meski demikian, seberapa buruk pun rancangan undang-undang yang disahkan di mata
pengkritik, ada aspek alam pikir pemerintah yang patut dipertimbangkan. Kalau
mendengar kembali pidato Presiden Jokowi pada pelantikannya di MPR pada 20
Oktober 2019, ia menyebutkan kata-kata “omnibus law”.

Kata-kata itu muncul setelah Jokowi menyampaikan mimpinya bahwa Indonesia pada
100 tahun kemerdekaan harus bisa lepas sebagai negara dengan jebakan pendapatan
menengah.

Baca juga: Saat Buruh Tanggapi Moeldoko yang Sebut Penolak UU Cipta Kerja Susah Diajak Bahagia

Pada saat itu datang, Indonesia adalah negara maju dengan pendapatan per kapita Rp 320 juta per tahun. Mimpi itu akan terlaksana jika beberapa hambatan pembangunan seperti problem SDM, infrastruktur, regulasi, birokratisasi, dan transformasi ekonomi diselesaikan sejak sekarang.

Pemerintah harus bertarung dalam lorong sempit untuk menghapus hambatan perundang-undangan yang saling tumpang-tindih.

Inilah dilema yang dihadapi Jokowi dalam matra pembangunan saat ini. Problem yang
disebutkan bukan ciptaannya.

Masalah itu telah berkalang, lengket di langit-langit pembangunan bangsa sejak lama dan tidak diselesaikan dengan tuntas oleh pemerintah reformasi sebelumnya. UU Cipta Kerja ini  nantinya dianggap sebagai formula saktinya.

Serikat Masyarakat Miskin Indonesia (SRMI) melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda Jakarta Pusat, Jumat (16/10/2020). Mereka menolak pengesahan omnibus law Undang-undang Cipta Kerja.KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG Serikat Masyarakat Miskin Indonesia (SRMI) melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda Jakarta Pusat, Jumat (16/10/2020). Mereka menolak pengesahan omnibus law Undang-undang Cipta Kerja.

Namun di sisi lain ada tuntutan demokrasi yang juga harus diperhatikan. Pelembagaan
dan perbaikan kualitas demokrasi adalah tuntutan masa depan agar Indonesia menjadi
negara berdaulat, berkarakter, dan sejahtera.

Namun pertanyaannya, dengan kemiskinan, pengangguran, dan lemahnya infrastruktur saat ini, termasuk “kebisingan demokrasi” di ruang representatif kekuasaan, indeks kesejahteraan tak mampu terbang tinggi.

Sementara, tesis ilmuan politik Durham University, David Held (1991), menyebutkan
bahwa demokrasi sulit berkembang dengan situasi material negara terpuruk miskin.

Ia mencontohkan Amerika Serikat, Botswana, Denmark, Kostarika, Jepang, dan Jamaika
bisa disebut negara demokrasi, tapi sistem politik, budaya politik, dan lingkungan sosial-
ekonomi mereka membedakan kualitas demokrasi satu sama lain. Negara dengan
jeratan pendapatan rendah jelas sulit mengembangkan demokrasi secara substansial
(Sorensen, 2008 : 21).

Di titik ini kita harus menyadari ada beban besar yang dihadapi oleh pemerintah,
terlebih Presiden Jokowi, atas tumpukan masalah ekonomi bangsa.

Di tengah ledakan angkatan kerja dan buruknya sistem multilateralisme akibat pandemi Covid-19 global ini, Indonesia harus mengambil langkah radikal agar tidak tergelincir sebagai negara gagal dan terbenam dalam kubangan resesi berkepanjangan. Pilihan omnibus law bisa
disebut pilihan pahit, tapi harus mampu ditapaki dengan hati-hati.

Akhirnya Jokowi harus ulet melanjutkan gagasan pembangunan ekonomi melalui UU
Cipta Kerja dan membuka ruang demokrasi terkait kelemahan-kelemahan pada undang-undang itu.

Memakai istilah Mark J Gasiorowski, consociationalism democracy, Jokowi harus bisa
mempromosikan kompromi dan membangun konsensus di antara kelompok-kelompok
masyarakat yang masih keras hati, sehingga ketegangan tidak terus meletup-letup.

Ibarat balapan MotoGP di sirkuit Bugatti, Le Mans, Perancis, Jokowi jangan sampai
tersungkur seperti Valentino Rossi: rubuh di tikungan patah!

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Revisi UU Kementerian Negara, Yusril Sebut Prabowo Bisa Keluarkan Perppu Usai Dilantik Jadi Presiden

Soal Revisi UU Kementerian Negara, Yusril Sebut Prabowo Bisa Keluarkan Perppu Usai Dilantik Jadi Presiden

Nasional
“Oposisi” Masyarakat Sipil

“Oposisi” Masyarakat Sipil

Nasional
Soal Pernyataan Prabowo, Pengamat: Ada Potensi 1-2 Partai Setia pada Jalur Oposisi

Soal Pernyataan Prabowo, Pengamat: Ada Potensi 1-2 Partai Setia pada Jalur Oposisi

Nasional
Pakar Nilai Ide KPU soal Caleg Terpilih Dilantik Usai Kalah Pilkada Inkonstitusional

Pakar Nilai Ide KPU soal Caleg Terpilih Dilantik Usai Kalah Pilkada Inkonstitusional

Nasional
Pakar Pertanyakan KPU, Mengapa Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada

Pakar Pertanyakan KPU, Mengapa Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada

Nasional
Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Ogah Kerja Sama, Gerindra: Upaya Rangkul Partai Lain Terus Dilakukan

Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Ogah Kerja Sama, Gerindra: Upaya Rangkul Partai Lain Terus Dilakukan

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Gerindra Pastikan Tetap Terbuka untuk Kritik

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Gerindra Pastikan Tetap Terbuka untuk Kritik

Nasional
Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Nasional
Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com