Salin Artikel

Tersungkur di Tikungan Patah

Novel poskolonial ini membicarakan tentang tubrukan kebudayaan, ketika sebuah
komunitas Ibo, kumpulan dari sembilan kampung di pedalaman Nigeria, mengalami
permasalahan dengan kolonialisasi Inggris dan kedatangan agama Kristen yang
membuat kepercayaan dan kebudayaan mereka tertekan dan berubah drastis.

Dalam kacamata Inggris dan misionaris, apa yang mereka berikan kepada masyarakat
pedalaman Afrika itu adalah berkah kemajuan dan modernisasi.

Peradaban Eropa mencoba menjauhi masyarakat dari tahayul, perang, dan kegelapan budaya primitif.

Akan tetapi masyarakat Ibo melihat apa yang dibawa orang asing itu adalah kiamat bagi
kepercayaan dan kebudayaan mereka yang teguh tergenggam ratusan tahun. Nilai-nilai
baru merusak ikatan sosio-kultural mereka.

Bagi Achebe, baik kaum misionaris dan orang kampung sama-sama bagai busur patah.
Mereka terseok dalam kecurigaan akibat kosongnya dialog. Akhirnya mereka harus
berperang, tak peduli lagi kerugian menyerta, demi nama baik dan identitas masing-
masing.

Omnibus Law sebagai keselamatan?

Ini pula yang dirasakan oleh buruh, mahasiswa, dan sebagian kalangan akademisi yang
sejak awal sudah menolak kehadiran omnibus law RUU Cipta Kerja.

Mereka menganggap kebaikan yang disodorkan pemerintah melalui RUU yang
menyaring lebih 70 undang-undang lain dengan 186 pasal itu palsu belaka.

Undang-undang itu dianggap badai la nina bagi nasib buruh. Pemerintah pun tak tergoyahkan, Jokowi meminta masyarakat yang tidak puas untuk melakukan judicial review (Kompas, 10/10/2020).

Kisah tentang naskah rancangan undang-undang yang diajukan Presiden ini pun menjadi misteri hingga sepekan setelah disepakati DPR. Naskah final RUU tidak bisa terakses publik.

Ibarat thriller dalam cerpen Edgar Allan Poe, The Purloined Letter, publik sampai menunggu-nunggu manakah dari 905, 1.028, atau 1035 halaman yang merupakan naskah final.

Ternyata yang absah berjumlah 812 halaman! Meskipun Azis Syamsuddin, wakil ketua DPR RI, menyebutkan itu masalah ukuran kertas yang berbeda (Kompas.com, 13/10/2020), publik tak mudah legawa dan percaya.

Uniknya, naskah final yang disetujui DPR itu pun masih memerlukan perbaikan. Pertanyaannya
untuk apa ketergesa-gesaan persetujuan DPR itu harus dilakukan?

Sikap bergerak cepat menunjukkan ada yang salah dengan undang-undang itu. Jika melihat beberapa RUU masih terbengkalai lama padahal telah diwacanakan ratusan hingga puluhan ribu jam seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan RUU Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP), umur RUU Cipta Kerja diibaratkan sangat balita.

Demikian pula ruang partisipasi publik mengendap begitu saja. Jika pun ada rapat dengar
pendapat, upaya sinkronisasinya tidak mudah disolidkan di tengah kepentingan kaum
kapitalis yang lebih menjulur di depan redaksi naskah.

Bahkan, Bank Dunia yang awalnya ikut mendorong hadirnya omnibus law ini juga
memberikan kritikan keras ketika rancangan undang-undang itu disetujuai DPR.

Ia dianggap bisa melukai buruh dan lingkungan di Indonesia karena sikap over-atraktif kepada investor dan pengusaha. Memang sejak awal kehadiran UU Cipta Kerja diharapkan menjadi jalan recovery bagi ekonomi Indonesia di tengah pandemi Covid-19.

Namun dengan sikap tidak hati-hati, ia berpeluang memojokkan buruh, lingkungan, dan politik agraria ke dalam enigma kerusakan dan kemiskinan.

Dilema dalam pilihan

Meski demikian, seberapa buruk pun rancangan undang-undang yang disahkan di mata
pengkritik, ada aspek alam pikir pemerintah yang patut dipertimbangkan. Kalau
mendengar kembali pidato Presiden Jokowi pada pelantikannya di MPR pada 20
Oktober 2019, ia menyebutkan kata-kata “omnibus law”.

Kata-kata itu muncul setelah Jokowi menyampaikan mimpinya bahwa Indonesia pada
100 tahun kemerdekaan harus bisa lepas sebagai negara dengan jebakan pendapatan
menengah.

Pada saat itu datang, Indonesia adalah negara maju dengan pendapatan per kapita Rp 320 juta per tahun. Mimpi itu akan terlaksana jika beberapa hambatan pembangunan seperti problem SDM, infrastruktur, regulasi, birokratisasi, dan transformasi ekonomi diselesaikan sejak sekarang.

Pemerintah harus bertarung dalam lorong sempit untuk menghapus hambatan perundang-undangan yang saling tumpang-tindih.

Inilah dilema yang dihadapi Jokowi dalam matra pembangunan saat ini. Problem yang
disebutkan bukan ciptaannya.

Masalah itu telah berkalang, lengket di langit-langit pembangunan bangsa sejak lama dan tidak diselesaikan dengan tuntas oleh pemerintah reformasi sebelumnya. UU Cipta Kerja ini  nantinya dianggap sebagai formula saktinya.

Namun di sisi lain ada tuntutan demokrasi yang juga harus diperhatikan. Pelembagaan
dan perbaikan kualitas demokrasi adalah tuntutan masa depan agar Indonesia menjadi
negara berdaulat, berkarakter, dan sejahtera.

Namun pertanyaannya, dengan kemiskinan, pengangguran, dan lemahnya infrastruktur saat ini, termasuk “kebisingan demokrasi” di ruang representatif kekuasaan, indeks kesejahteraan tak mampu terbang tinggi.

Sementara, tesis ilmuan politik Durham University, David Held (1991), menyebutkan
bahwa demokrasi sulit berkembang dengan situasi material negara terpuruk miskin.

Ia mencontohkan Amerika Serikat, Botswana, Denmark, Kostarika, Jepang, dan Jamaika
bisa disebut negara demokrasi, tapi sistem politik, budaya politik, dan lingkungan sosial-
ekonomi mereka membedakan kualitas demokrasi satu sama lain. Negara dengan
jeratan pendapatan rendah jelas sulit mengembangkan demokrasi secara substansial
(Sorensen, 2008 : 21).

Di titik ini kita harus menyadari ada beban besar yang dihadapi oleh pemerintah,
terlebih Presiden Jokowi, atas tumpukan masalah ekonomi bangsa.

Di tengah ledakan angkatan kerja dan buruknya sistem multilateralisme akibat pandemi Covid-19 global ini, Indonesia harus mengambil langkah radikal agar tidak tergelincir sebagai negara gagal dan terbenam dalam kubangan resesi berkepanjangan. Pilihan omnibus law bisa
disebut pilihan pahit, tapi harus mampu ditapaki dengan hati-hati.

Akhirnya Jokowi harus ulet melanjutkan gagasan pembangunan ekonomi melalui UU
Cipta Kerja dan membuka ruang demokrasi terkait kelemahan-kelemahan pada undang-undang itu.

Memakai istilah Mark J Gasiorowski, consociationalism democracy, Jokowi harus bisa
mempromosikan kompromi dan membangun konsensus di antara kelompok-kelompok
masyarakat yang masih keras hati, sehingga ketegangan tidak terus meletup-letup.

Ibarat balapan MotoGP di sirkuit Bugatti, Le Mans, Perancis, Jokowi jangan sampai
tersungkur seperti Valentino Rossi: rubuh di tikungan patah!

 

https://nasional.kompas.com/read/2020/10/19/05100081/tersungkur-di-tikungan-patah

Terkini Lainnya

Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Nasional
PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

Nasional
Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Nasional
Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Nasional
Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
MK Bakal Unggah Dokumen 'Amicus Curiae' agar Bisa Diakses Publik

MK Bakal Unggah Dokumen "Amicus Curiae" agar Bisa Diakses Publik

Nasional
PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

Nasional
Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Nasional
MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Nasional
Daftar Aset Mewah Harvey Moeis yang Disita Kejagung dalam Kasus Dugaan Korupsi Timah

Daftar Aset Mewah Harvey Moeis yang Disita Kejagung dalam Kasus Dugaan Korupsi Timah

Nasional
Hanya Pihak Berkepentingan yang Boleh Hadir di Sidang Putusan Sengketa Pilpres

Hanya Pihak Berkepentingan yang Boleh Hadir di Sidang Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
Soal Maju Kembali di Pilkada Jateng, Sudirman Said: Kan Sudah Pernah

Soal Maju Kembali di Pilkada Jateng, Sudirman Said: Kan Sudah Pernah

Nasional
FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

Nasional
Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke