JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lukmanul Hakim mengatakan, pihaknya tengah mempertimbangkan sikap yang akan diambil soal andil dalam proses pemberian sertifikasi halal pasca-pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja.
Menurut Lukman, hal itu dilakukan karena UU Cipta Kerja tersebut telah menghilangkan subtansi halal dalam proses pemberian sertifikasi.
"Kami sedang membahas, seperti apa sikap Majelis Ulama Indonesia ketika subtansi halalnya malah jadi kabur atau malah hilang," kata Lukman kepada Kompas.com, Selasa (6/10/2020).
Lukman mengatakan, MUI akan mengambil sikap apakah masih akan terlibat dalam proses sertifikasi halal.
Baca juga: Soal Sertifikasi Halal di UU Cipta Kerja, MUI: Substansi Halalnya Jadi Ambyar
Sebab, menurut dia, jika subtansi halal hilang terlalu berisiko bagi MUI untuk ikut andil dalam proses pemberian sertifikasi halal.
"Karena kan ada hal-hal yang sifatnya subtansi malah kabur. Karena kalau sudah ambyar begini kita juga berisiko," ujar dia.
Lukman mengatakan, hilangnya subtansi halal terlihat dari beberapa pasal yang ada di UU Cipta Kerja, salah satunya pasal mengenai mengenai auditor halal.
Menurut dia, UU Cipta Kerja menghilangkan ketentuan adanya sertifikasi auditor halal dari MUI yang tertuang pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Baca juga: UU Cipta Kerja Disahkan, Ekonomi Indonesia Dinilai Diserahkan ke Sistem Liberal Kapitalis
Adapun, perubahan regulasi dalam Pasal 10 UU Jaminan Produk Halal diatur dalam Pasal 48 Undang-Undang Cipta Kerja.
"Auditor itu adalah saksi daripada ulama. Saksi daripada ulama, maka dia harus disetujui oleh ulama," ujarnya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.