Pada Pemilu 2009 besaran ambang batas parlemen adalah 2,5 persen, kemudian 3,5 persen di Pemilu 2014, dan 4 persen pada Pemilu 2019.
Setiap partai politik yang ingin mendapatkan kursi DPR harus memperoleh suara sah nasional sebesar persentase ambang batas parlemen yang berlaku.
Sementara itu, bagi partai politik yang tidak memenuhi ambang batas tersebut tidak bisa diikutsertakan dalam konversi suara ke kursi legislatif.
Akibatnya, suara yang terkumpul untuk partai politik tersebut terbuang begitu saja (wasted vote).
Fadli mengatakan, penentuan angka ambang batas parlemen itu tidak pernah didasarkan pada basis perhitungan yang transparan dan terbuka.
Padahal, sebagai negara yang menerapkan sistem pemilu proporsional di pemilu legislatif, sudah sepatutnya proporsionalitas harus terpenuhi secara baik.
Baca juga: Ahli Sarankan Ambang Batas Parlemen Jadi 5 Persen
Fadli menyebut, penentuan besaran ambang batas parlemen mengabaikan prinsip pemilu proporsional dan tiap pemilu cenderung mengalami peningkatan tanpa akuntabilitas metode penentuan yang rasional.
"Sehingga dalam penentuan besaran ambang batas parlemen diperlukan metode penghitungan yang jelas dan mengedepankan proporsionalitas pemilu," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.