JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia Ahmad Taufan Damanik menyarankan agar dilakukan kajian ulang terhadap semua regulasi yang bisa mengganggu hubungan sosial dan kemerdekaan individu.
Menurut Taufan, regulasi persoalan agama harus dikaji ulang agar tercipta suasana demokrasi anak bangsa yang bhineka.
“Kalau dibiarkan terus, distrust sosial semakin tinggi. Terkadang para ahli atau penegak hukum tidak menyadari. Apa yang kita sebut sebagai bangsa mengalami kelunturan dalam hubungan-hubungan akrab dengan sesama anak bangsa,” kata Taufan dalam sebuah webinar, (21/8/2020).
Baca juga: YLBHI Minta Pasal Penodaan dan Penistaan Agama Dihapus
Taufan menyebut, kasus penodaan agama menimbulkan masalah sosial di masyarakat karena tidak jelas batasannya.
Definisi penodaan agama cenderung memuat unsur diskriminatif terhadap minoritas.
"Kita tidak mampu merumuskan apa sebenarnya problem kita. Kita punya berbagai regulasi yang sebetulnya banyak menimbulkan masalah,” kata Taufan.
Ia mengatakan, regulasi terkait persoalan agama semestinya diatur dalam Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Namun, realitanya, polisi sering juga mengenakan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam memproses hukum laporan soal dugaan penodaan agama.
Selain itu, Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015 tentang penanganan Ujaran Kebencian juga dijadikan acuan penegak hukum memproses persoalan yang berkaitan dengan agama.
"Jadi kadang-kadang enggak jelas batasannya, untuk kasus tertentu dianggap sebagai penodaan agama, untuk kasus lain tidak. Ada unsur diskriminasi juga, terutama antara mayoritas dan minoritas," tutur dia.
Taufan mengatakan, kasus penodaan agama di Jawa dan Sumatera jika dilakukan mayoritas maka akan selamat dari sebuah delik.
Namun, jika yang melakukan adalah minoritas, dia akan terkena delik penodaan agama.
Baca juga: YLBHI: Banyak Kasus Penodaan Agama yang Diproses karena Terlanjur Viral
Sebaliknya, di NTT, kalau penodaan agama dilakukan oleh mayoritas, dia akan mengalami nasib yang sama seperti minoritas di Jawa dan Sumatera.
Taufan mencontohkan kasus penodaan agama mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang masih berdampak sampai saat ini.
“Kasusnya Ahok itu luar biasa. Sampai hari ini tidak selesai-selesai. Di internasional orang masih bertanya bagaimana kasus Ahok,” kata Taufan.
“Seolah-olah kita begitu kelamnya hanya gara-gara kasus itu,” ucap dia.
Selain itu, mudahnya proses hukum yang berkaitan dengan agama, kata Taufan, hanya membuat negara mengeluarkan banyak energi.
Bahkan, aparat keamanan harus mengeluarkan uang negara untuk menangani kasus yang semestinya tidak perlu dipidana.
"Setiap orang yang diproses hukum itu ada wewenang negara yang dikeluarkan, mulai dari proses pemeriksaan, penuntutan, peradilan, sampai kalau dia dipenjarakan hidupnya di dalam rutan dan LP, itu kan ditanggung oleh negara," ucap Taufan.
"Saya sebagai pembayar pajak enggak rela uang saya dipakai untuk itu, lebih bagus dipakai untuk biaya sekolah anak-anak," kata dia.
Baca juga: YLBHI: Hingga Mei 2020, Terjadi 38 Kasus Penodaan Agama, Mayoritas di Sulsel
Taufan mencontohkan kasus seorang ibu bernama Meiliana yang memprotes kerasnya suara dari toa masjid. Menurut dia, kasus seperti itu semestinya tidak perlu dipidanakan.
"Memang perilaku Meiliana kurang sopan, tetapi kan bukan berarti kurang sopan jadi dikriminalisasikan lalu dipidana," ujar Taufan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.