JAKARTA, KOMPAS.com - Amnesty Internasional Indonesia telah mengantongi hasil kajian terkait omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.
Kajian tersebut dilakukan sejakt Maret 2020. Hasilnya, terdapat tujuh pasal yang dianggap bermasalah dan rawan bagi eksistensi pekerja.
Tujuh pasal tersebut berkaitan dengan klaster ketenagakerjaan yang termaktub dalam BAB IV draf RUU Cipta Kerja.
"Pertama, RUU Cipta Kerja mencabut Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Pencabutan ini menghilangkan jangka waktu maksimum perjanjian kerja sementara, jangka waktu perpanjangan maksimum, dan kondisi lain," ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam konferensi pers virtual, Rabu (19/8/2020).
Baca juga: RUU Cipta Kerja Atur Libur Hanya Sehari Per Pekan, Kelompok Buruh: Mirip Perbudakan
Kedua, RUU Cipta Kerja menambahkan Pasal 77A, yang memungkinkan peningkatan waktu kerja lembur atau overtime untuk sektor tertentu.
Jumlah kompensasi untuk jam kerja ekstra tersebut ditentukan pemberi kerja melalui skema masa kerja dan bukan tatif yang ditetapkan pemerintah.
Ketiga, RUU Cipta Kerja menambahkan Pasal 88C, yang menghapuskan upah minimum kota/kabupaten (UMK), sebagai salah satu dasar upah minimum bagi pekerja.
Menurut Usman, ketentuan ini akan memukul rata standar upah minimum di semua kota dalam satu provinsi. Dengan skema itu, maka aturan tersebut berisiko menurunkan upah pekerja.
Keempat, RUU Cipta Kerja mengubah rumus penghitungan upah minimum dalam Pasal 88D dengan menghilangkan tingkat inflasi yang sebelumnya diperhitungkan dalam perhitungan upah minimum.
Sedangkan, tingkat inflasi secara langsung mempengaruhi biaya hidup dan daya beli pekerja.
"Sehingga menentukan apakah tingkat upah minimum akan cukup untuk mendukung standar hidup layak bagi pekerja," kata Usman.
Baca juga: Pembentukan Tim Perumus RUU Cipta Kerja, KASBI Nilai Hanya untuk Tutupi Kekeliruan
Kelima, RUU Cipta Kerja menambahkan Pasal 88B, yang memberikan kebebasan kepada pengusaha untuk menentukan unit keluaran yang ditugaskan kepada pekerja sebagai dasar perhitungan upah melalui sistem upah per satuan.
Keenam, RUU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan cuti berbayar yang tertuang dalam Pasal 93 (2) UU Ketenagakerjaan.
Amendemen ini meniadakan beberapa bentuk cuti berbayar. Misalnya, cuti haid, cuti orang tua, dan hari raya keagamaan. Termasuk cuti untuk acara keluarga yang meliputi pernikahan, sunat, pembaptisan, atau kematian anggota keluarga.
Ketujuh, RUU Cipta kerja menghapus Pasal 91 dari UU Ketenagakerjaan.