Jangan pula berbicara tentang "disrupsi". Justru gaya hidup selama inilah yang mendisrupsi keteraturan dan keseimbangan yang seharusnya dijaga.
Obsesi terhadap pertumbuhan ekonomi, misalnya, adalah penyimpangan besar terhadap keteraturan semesta.
Menurut logika saintifik saja, krisis iklim ini merupakan akibat langsung dari obsesi menyimpang itu.
Demi pertumbuhan, energi fosil dibakar gila-gilaan, melepas berton-ton kubik zat asam arang, mengakibatkan pemanasan global.
Lebih menyimpang lagi, pertumbuhan ekonomi ini dinikmati oleh hanya segelintir orang, sedang mudlaratnya ditanggung oleh seluruh umat manusia bahkan yang belum lahir.
Mustahil bagi generasi mendatang memenuhi kebutuhannya setelah ibu bumi diperkosa habis-habisan. Generasi terdahulu telah menguras habis sumber kehidupannya.
Jika pun masih tersisa, mustahil manusia mempertahankan gaya hidupnya selama ini.
Lazimnya, manusia tercipta dengan naluri berbagi, sebagaimana seisi alam tercipta untuk dibagi merata manfaatnya bagi seluruh mahluk.
Kelaziman inilah yang harus kembali ditegakkan, jika masih ada waktu untuk itu.
Alih-alih pertumbuhan, keadilanlah yang harus menjadi perhatian utama sejak saat ini. Tidak sekadar keadilan ekonomi, tetapi keadilan sosial, yakni, adil juga secara sosial-budaya.
Tiap-tiap masyarakat manusia di belahan dunia manapun harus berdaya untuk menggunakan ukuran-ukurannya sendiri mengenai kesejahteraan dan kemakmuran.
Para pendiri negara Indonesia, menariknya, sudah menegaskan ini jauh-jauh hari. Lebih dari sekadar kemakmuran, lebih dari sekadar kesejahteraan sosial, yang harus diwujudkan adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Inilah pumpunan, tujuan utama dan satu-satunya, sekaligus tuntunan bagi masa depan.
Tidak saja dalam ranah ekonomi, wabah Covid-19 mengingatkan untuk kembali pada kelaziman dalam ranah politik.
Angan-angan sesat mengenai demokrasi, misalnya, merupakan penyimpangan dari kelaziman.