Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bono Budi Priambodo
Pengajar Fakultas Hukum UI

Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Peneliti doktoral bidang antropologi hukum di Universitas Amsterdam.

Wabah Covid-19 dan Masa Depan Indonesia

Kompas.com - 23/07/2020, 17:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

WABAH. Apa hikmahnya?

Sudah sekitar setengah tahun rakyat Indonesia "resmi" hidup berdampingan dengan virus corona SARS-CoV-2.

Beragam cara orang menyikapinya. Ada yang menganggap sepele Covid-19, penyakit yang ditimbulkannya, sebagai sekadar varian flu baru. Ada juga yang merangkai berbagai teori konspirasi rumit mengenainya.

Terlepas darinya, kebanyakan orang Indonesia dibiasakan untuk mengambil hikmah dari apa pun yang menimpanya.

Lantas, bagaimana menyikapinya guna menyongsong masa depan? Jikapun tidak percaya Tuhan maupun agama, sesungguhnya sains sudah memperingatkan mengenai ini jauh-jauh hari, setidaknya dari tiga puluhan tahun lalu.

Salah satu temuan sains terpenting dari abad lalu adalah pengetahuan mengenai terjadinya perubahan iklim global.

Sains memprakirakan, jika sampai 2014 tidak dilakukan apa pun untuk mengatasinya, maka tercapailah suatu ambang di mana iklim global akan terus memburuk.

Salah satu akibat darinya adalah timbulnya penyakit-penyakit baru atau timbul-kembalinya penyakit-penyakit yang sebelumnya dianggap sudah berhasil diatasi.

Sekitar lima tahun kemudian, prakiraan ini terbukti. Orang masih tidak percaya ketika SARS kali pertama mewabah pada awal 2000-an karena tidak global. Kali ini, SARS-CoV-2 betul-betul mengglobal.

Lebih dari sekadar "berdamai" dengan Covid-19, manusia menghadapi kenyataan krisis iklim.

Umat manusia juga harus mengakuinya sebagai kesalahan bersama karena tidak berhasil melakukan apa pun untuk mencegahnya memburuk.

Tidak saja wabah penyakit, dunia harus bersiap-siap menghadapi berbagai bencana terkait iklim lainnya.

Di samping bencana-bencana alam maupun sosial yang nyatanya semakin kerap dan lazim, krisis pangan, krisis air, krisis energi dan sebagainya mengintai di balik tikungan.

Ini semua bukan isapan jempol, dan inilah hikmahnya. Umat manusia sedunia harus memulai suatu "kelaziman baru."

Kelaziman "baru"

Terlebih, tidak ada yang benar-benar "baru" dari kelaziman yang harus segera berlaku ini. Peringatan mengenainya sudah diberikan bahkan sejak peradaban manusia dimulai.

Jangan pula berbicara tentang "disrupsi". Justru gaya hidup selama inilah yang mendisrupsi keteraturan dan keseimbangan yang seharusnya dijaga.

Obsesi terhadap pertumbuhan ekonomi, misalnya, adalah penyimpangan besar terhadap keteraturan semesta.

Menurut logika saintifik saja, krisis iklim ini merupakan akibat langsung dari obsesi menyimpang itu.

Demi pertumbuhan, energi fosil dibakar gila-gilaan, melepas berton-ton kubik zat asam arang, mengakibatkan pemanasan global.

Lebih menyimpang lagi, pertumbuhan ekonomi ini dinikmati oleh hanya segelintir orang, sedang mudlaratnya ditanggung oleh seluruh umat manusia bahkan yang belum lahir.

Mustahil bagi generasi mendatang memenuhi kebutuhannya setelah ibu bumi diperkosa habis-habisan. Generasi terdahulu telah menguras habis sumber kehidupannya.

Jika pun masih tersisa, mustahil manusia mempertahankan gaya hidupnya selama ini.

Lazimnya, manusia tercipta dengan naluri berbagi, sebagaimana seisi alam tercipta untuk dibagi merata manfaatnya bagi seluruh mahluk.

Kelaziman inilah yang harus kembali ditegakkan, jika masih ada waktu untuk itu.

Alih-alih pertumbuhan, keadilanlah yang harus menjadi perhatian utama sejak saat ini. Tidak sekadar keadilan ekonomi, tetapi keadilan sosial, yakni, adil juga secara sosial-budaya.

Tiap-tiap masyarakat manusia di belahan dunia manapun harus berdaya untuk menggunakan ukuran-ukurannya sendiri mengenai kesejahteraan dan kemakmuran.

Para pendiri negara Indonesia, menariknya, sudah menegaskan ini jauh-jauh hari. Lebih dari sekadar kemakmuran, lebih dari sekadar kesejahteraan sosial, yang harus diwujudkan adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Inilah pumpunan, tujuan utama dan satu-satunya, sekaligus tuntunan bagi masa depan.

Hikmat kebijaksanaan

Tidak saja dalam ranah ekonomi, wabah Covid-19 mengingatkan untuk kembali pada kelaziman dalam ranah politik.

Angan-angan sesat mengenai demokrasi, misalnya, merupakan penyimpangan dari kelaziman.

Sistem politik yang mengutamakan partisipasi rakyat sebesar-besarnya, menjadikannya satu-satunya ukuran kebenaran, jelas menyimpang dari kodrat manusia.

Situasi krisis mengharuskan orang bertindak cepat, tepat dan berorientasi masa depan. Sistem politik demokrasi tidak cocok untuk situasi sedemikian, apalagi demokrasi yang membusuk menjadi oligarki, di mana orang-orang kaya memperkaya diri sendiri seraya bersembunyi di balik pencitraan populis tokoh-tokoh politik.

Demokrasi busuk adalah parasit yang hidup dari dukungan semu rakyat yang membabi-buta tanpa pengetahuan, bahkan seringkali atas kebohongan yang nyata.

Ukuran utamanya bukan keterwakilan (representativeness) melainkan keterpilihan (electability). Bukan masalah jika politisi sama sekali tidak peduli aspirasi rakyat sepanjang ia populer.

Dengan sistem politik ini, jangankan berharap para pengambil keputusan memutus secara cepat, tepat dan berorientasi masa depan, sedangkan memutus setulusnya berdasarkan kepentingan bersama saja mustahil.

Rakyat dibiarkan cari selamat sendiri-sendiri sepanjang tidak mengganggu kepentingan orang-orang kaya terus memperkaya diri sendiri.

Sebagaimana kenyataan adanya orang kaya dan miskin, tidak semua orang memiliki kemampuan berpikir cepat, tepat dan berorientasi masa depan.

Orang-orang seperti inilah yang seharusnya diberi kepercayaan untuk mengurus kepentingan umum, seperti menuntun seluruh rakyat agar sesegera mungkin keluar dari krisis.

Para pendiri negara Indonesia menamainya orang-orang yang ber-"hikmat kebijaksanaan."

Merekalah yang seharusnya memimpin rakyat, bermusyawarah menentukan arah terbaik, agar selamat melampaui krisis Covid-19, krisis iklim, atau apa pun yang menghadang, agar selamat mencapai masa depan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Wallahu a'lam bish-shawwab.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com