Hal ini diamini oleh jajak pendapat Litbang Kompas. Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan pada 7-11 Juli 2020, sebagian besar responden (87,8 persen) menyatakan ketidakpuasan terhadap kinerja menteri, khususnya dalam menangani pandemi Covid-19.
Sebagian besar responden pun tidak puas terhadap penyediaan sarana dan prasarana kesehatan bagi tenaga medis dan masyarakat (71,1 persen) dan tidak puas terhadap bantuan sosial kepada masyarakat yang terdampak (75,1 persen).
Sebagai dampaknya, sebagian besar responden (61,4 persen) merasa pergantian menteri efektif untuk memperbaiki penanganan Covid-19. Dan, lebih banyak lagi responden yang merasa perombakan kabinet saat ini mendesak untuk dilakukan oleh Presiden Joko Widodo, yaitu sebanyak 69,6 persen.
Aspirasi publik ini sebaiknya segera ditangkap oleh Presiden Joko Widodo. Sebelum rasa frustrasi publik semakin menyebar.
Keputusan untuk melakukan reshuffle memang hak prerogatif Presiden. Akan tetapi, tak ada salahnya Presiden memperhatikan dan mendengarkan aspirasi publik.
Situasi seperti ini membutuhkan keputusan cepat dan tepat. Sudah terlalu banyak korban jiwa dan korban phk yang menderita karena pandemi ini. Perlu keputusan drastis dan berani dalam memperbaiki situasi ini.
Jika memilih untuk reshuffle, ada beberapa catatan yang perlu dicermati Presiden Joko Widodo. Pertama, mesti berhati-hati dalam menentukan pos menteri yang dirombak.
Harapannya tentu pos-pos terkait yang memang sangat relevan dalam penanganan Covid-19 dan terbukti kinerjanya di bawah ekspektasi.
Jangan sampai ada penumpang gelap dalam reshuffle, yang malah menambah beban Presiden dan kontraproduktif dengan rencana perbaikan yang diharapkan publik.
Kedua, perlu ketepatan dalam memilih menteri pengganti. Harus sosok yang giat, gesit, dan cepat beradaptasi dalam situasi dan kondisi baru dan tidak terduga, apalagi dalam masa krisis seperti ini.
Sosok yang dipilih juga sebaiknya figur yang bisa memecah kebuntuan. Berani mengambil langkah-langkah terobosan. Bukan tokoh yang berpikir business as usual.
Satu kutipan yang sangat terkenal, yang sering kali dilekatkan pada sosok Albert Einstein, kegilaan itu adalah melakukan hal yang sama berulang-ulang, tetapi mengharapkan hasil yang berbeda.
Harapannya adalah Presiden memiliki sosok menteri baru yang benar-benar bisa menghasilkan perbaikan kinerja pasca-reshuffle. Sosok lamban, tidak kooperatif, dan sulit diterima publik, tentunya tidak perlu menjadi opsi.
Ketiga, pandemi Covid-19 ini merupakan masalah besar dan luar biasa bangsa ini. Karena itu, Presiden perlu menyatukan gerak langkah seluruh elemen bangsa dalam satu kesatuan. Bukan bergerak sendiri-sendiri, secara terpisah, dan tanpa komando.
Sangat tidak tepat jika mengharapkan masyarakat untuk bertindak sendiri-sendiri, tanpa kepemimpinan yang solid dari pemerintah. Ingat, bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Kini bukan saatnya lagi berbicara elemen pendukung dan bukan pendukung di masa lalu. Saatnya ego pribadi disimpan rapat-rapat, dan fokus pada solusi untuk mengatasi masalah bangsa bersama-sama.
Karena itu, jika memang dirasa perlu, Presiden tidak perlu alergi mengajak elemen-elemen yang selama ini belum tergabung dalam kabinet.
Perubahan dalam komposisi anggota kabinet bukan berarti Presiden telah mengambil langkah salah saat memilih para menteri di awal pemerintahannya.
Hanya, situasi krisis membutuhkan tipikal kepemimpinan yang berbeda. Mungkin saja sosok-sosok yang dibutuhkan, berada jauh dari lingkar kekuasaan.
Seperti kata Ben S Bernanke, mantan gubernur Bank Sentral Amerika Serikat yang sangat sukses dalam mengatasi krisis ekonomi 2008-2009, dalam buku The Courage to Act, selama krisis orang dibedakan oleh siapa yang bertindak dan yang takut untuk bertindak.
Semoga para pemimpin kita diberi keberanian untuk bertindak tepat dan cepat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.