JAKARTA, KOMPAS.com - Penggunaan diksi new normal selama pandemi Covid-19 dinilai sulit dipahami oleh masyarakat. Akibatnya, pemerintah mengubah diksi tersebut menjadi adaptasi kebiasaan baru.
"Diksi new normal, dari awal diksi itu segera ubah. New normal itu diksi yang salah dan kita ganti dengan adptasi kebiasaan baru," kata Yurianto dalam acara peluncuran buku Menghadang Corona: Advokasi Publik di Masa Pandemi karya Saleh Daulay secara virtual, Jumat (10/7/2020).
Istilah new normal memang beberapa kali digunakan pemerintah dalam berbagai kesempatan. Bahkan, istilah itu juga kerap terlontar dari lisan Presiden Joko Widodo.
Misalnya, pada saat mengingatkan pemerintah kabupaten dan kota yang hendak menerapkan fase kenormalan baru. Presiden mengimbau agar pemerintah daerah dapat berhati-hati dan mengkaji secara baik fase new normal.
Baca juga: Ahli: Pentingnya Akses Tes PCR bagi Masyarakat Guna New Normal Aman
"Apabila ini terkendali dan masuk ke new normal atau masuk ke normal, saya minta juga tahapan-tahapannya diprakondisikan terlebih dahulu. Ada prakondisi untuk menuju ke sana," ujar Presiden saat berkunjung ke Surabaya, Jawa Timur, pada 25 Juni lalu.
Diketahui, new normal menjadi istilah baru yang ramai diperbincangkan, setelah Presiden Jokowi mengajak masyarakat "berdamai" dengan Covid-19.
Istilah "berdamai" digunakan Presiden lantaran hingga kini vaksin virus corona belum ditemukan.
Sementara pada saat yang sama, Presiden mengajak masyarakat untuk tetap produktif di tengah wabah.
"Bahwa Covid-19 itu ada, dan kita terus berusaha agar Covid segera hilang. Tapi kita tidak boleh menjadi tidak produktif, karena adanya Covid-19 menjadikan adanya penyesuaian dalam kehidupan," kata Deputi bidang Protokol, Pers dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin kepada wartawan, pada 8 Mei lalu.
Baca juga: Melihat Peluang Bisnis Berpotensi Cuan Saat New Normal, Ini Caranya
Pemakaian istilah tersebut, imbuh dia, harus disertai dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat guna mencegah terjadinya penularan di masyarakat.
Adapun protokolnya meliputi penggunaan masker, menjaga jarak, hingga rajin mencuci tangan dengan sabun.
"Ya, artinya jangan kita menyerah, hidup berdamai itu penyesuaian baru dalam kehidupan. Ke sananya yang disebut the new normal. Tatanan kehidupan baru," imbuh Bey.
Baca juga: Luhut: New Normal di Sektor Penerbangan Akan Segera Diaplikasikan
Menurut Wiku, prinsip utama dari new normal itu sendiri adalah dapat menyesuaikan dengan pola hidup.
"Secara sosial, kita pasti akan mengalami sesuatu bentuk new normal atau kita harus beradaptasi dengan beraktivitas, dan bekerja, dan tentunya harus mengurangi kontak fisik dengan orang lain, dan menghindari kerumunan, serta bekerja, bersekolah dari rumah," kata Wiku kepada Kompas.com, pada Mei lalu.
Baca juga: Buka 29 Juli, Ini Panduan Nonton di Bioskop saat New Normal
Penggunaan diksi new normal pun juga dipakai oleh Kementerian Kesehatan.
Salah satunya, saat menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 328 Tahun 2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri yang ditandatangani Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pada 20 Mei lalu.
Pada salah satu kalimat yang tertuang di bagian Latar Belakang disebutkan bahwa "Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah menyatakan bahwa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dilakukan salah satunya dengan meliburkan tempat kerja."
"Namun demikian dunia kerja tidak mungkin selamanya dilakukan pembatasan, roda perekonomian harus tetap berjalan, untuk itu pasca pemberlakuan PSBB dengan kondisi pandemi COVID-19 yang masih berlangsung, perlu dilakukan upaya mitigasi dan kesiapan tempat kerja seoptimal mungkin sehingga dapat beradaptasi melalui perubahan pola hidup pada situasi COVID-19 (New Normal)," imbuh peraturan tersebut.
Baca juga: Terawan Berkantor di Jatim, Kemenkes: Penyebaran Covid-19 di Sana Butuh Perhatian Khusus
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy bisa dibilang sebagai orang pemerintahan yang paling awal mengakui bahwa dia menghindari penggunaan frasa "new normal".
Menurut dia, istilah new normal tidak relevan dengan konteks Covid-19. Istlah itu dibuat oleh Roger McNamee dalam buku berjudul The New Normal: Great Opportunities in a Time of Great Risk (2004).
Baca juga: New Normal Tidak Ada dalam UU, Menko PMK Sebut Itu Masa Transisi
"Itu kan dia memberi contoh bagaimana memanfaatkan momen-momen ekonomi krisis tapi dia dapat keuntungan besar," kata dia.
"Kalau itu digunakan jadi dasar mengajari kita, ya kacau. Jadi harus hati-hati. Kalau istilah untuk gagah-gagahan boleh, tapi jangan sampai makna dan semangat di dalam istilah itu kita gunakan," kata dia.
Selain itu, dalam undang-undang mengenai kebencanaan, tidak ada istilah new normal. Adapun, istilah yang digunakan adalah rehabilitasi dan rekonstruksi.
Baca juga: KSP Sebut 4 Bidang Ini Harus Dipastikan Berpihak pada Difabel Saat New Normal
Kendati sempat digaungkan, Yuri mengatakan, istilah new normal belum cukup dipahami oleh masyarakat.
Hal itu disebabkan masyarakat hanya fokus pada kata "normal"-nya saja. Sehingga, hal itulah yang kemudian menjadi alasan pemerintah untuk merevisi istilah tersebut menjadi adaptasi kebiasaan baru.
"Dan kemudian yang dikedepankan bukan new-nya, tapi normal-nya. Padahal ini sudah kita perbaiki dengan adaptasi kebiasaan baru," kata dia.
Hal senada juga disampaikan oleh Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Brian Sriphastuti. Menurut dia, masyarakat sulit memahami konsep new normal karena adanya unsur bahasa asing.
"Pemahaman menggunakan 'new normal' sendiri, karena ada unsur bahasa asingnya, kemudian tidak mudah dipahami," kata Brian dalam diskusi Polemik bertema " Covid-19 dan Ketidaknormalan Baru" di MNC Trijaya, Sabtu (11/7/2020).
Baca juga: Tenaga Ahli KSP: Ada Unsur Bahasa Asing, New Normal Tidak Mudah Dipahami
Padahal, ia mengatakan, new normal seharusnya dipahami dalam satu tarikan yang utuh yaitu beradaptasi pada situasi pandemi dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat di dalam perilaku kehidupan sehari-hari.
"Jadi yang ditonjolkan bukan situasinya, tapi perilaku kita yang harus disesuaikan dengan situasi yang terjadi," kata Brian.
"Perilaku yang bisa membatasi atau menghindari transimisi persebaran lebih lanjut dari orang ke orang supaya tidak terinfeksi atau terpapar virus ini," ujar dia.
Baca juga: Jubir Pemerintah Akui Diksi New Normal Salah, Ganti dengan Adaptasi Kebiasaan Baru
Hingga Minggu (12/7/2020), Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat terdapat 75.699 orang yang telah dinyatakan positif Covid-19 sejak 2 Maret 2020.
Dari jumlah tersebut, 35.638 pasien telah dinyatakan sembuh setelah dua kali dinyatakan negatif Covid-19.
Adapun jumlah pasien meninggal dunia bertambah 71 orang, sehingga total mencapai 3.606 orang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.