JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri (Kemenlu RI), Febrian A. Ruddyard mengatakan, Israel kemungkinan menunda aneksasi atau pengambilan paksa wilayah Tepi Barat Palestina.
Sebab, kata Febrian, Israel tengah disibukan dengan penanganan Covid-19 dan belum ada kesepakatan yang penuh untuk melakukan aneksasi tersebut.
"Rencana tersebut ini tertunda, yang menurut informasi karena ada desakan untuk penanganan pandemi Covid-19. Dan saya rasa belum ada kesepatan yang penuh di Israel sendiri dan adanya pro kontra juga," kata Febrian dalam diskusi 'Melawan Aneksasi Israel atas Wilayah Palestina', Jumat (10/7/2020).
Baca juga: DPR Inisiasi Petisi Tolak Aneksasi Tepi Barat Israel, Diteken Anggota Parlemen AS hingga Inggris
Namun, Febrian mengatakan, penundaan aneksasi tersebut tetap harus diwaspadai.
Ia mengatakan, Presiden Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas mengancam akan mengakhiri seluruh perjanjian internasional dengan Israel dan Amerika Serikat, bila aneksasi tetap dilakukan.
"Dan juga menyampaikan proposal negosiasi baru Palestina yang disampaikan oleh PM Mohammad Shtayyeh, Palestina Muhammad Stayeh kepada Timur Tengah termasuk juru ruding yang baru," ujarnya.
Lebih lanjut, Febrian mengatakan, Pemerintah Indonesia sejak awal mengecam keras rencana aneksasi Tepi Barat Palestina.
Baca juga: Terbitkan Maklumat, MUI Kecam Rencana Aneksasi Israel terhadap Tepi Barat Palestina
Selain itu, ia mengapresiasi langkah DPR RI yang menginisiasi penyusunan pernyataan bersama parlemen dari berbagai negara untuk menolak rencana aneksasi Tepi Barat oleh Israel.
"Kembali mengingatkan bahwa perjuangan rakyat Palestina ini merupakan amanat UUD 1945 bahwa, ikut mewujudkan perdamaian dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi. Saya rasa kalau ada yang belum merdeka, itu adalah hutang kita pada yang belum merdeka itu," pungkasnya.
Untuk diketahui, Presiden Israel Benjamin Netanyahu awalnya berencana memulai proyek pencaplokan ini pada 1 Juli.
Israel bahkan juga telah memiliki nama untuk permukiman yang nanti akan dibangun di lahan yang dicaplok.
Dilansir Kompas.id, Rabu (8/7/2020), Amerika Serikat belum memberikan lampu hijau bagi Israel untuk melaksanakan rencana itu.
Selama beberapa pekan terakhir, Uni Eropa melancarkan kampanye diplomatik menentang rencana aneksasi itu.
Salah satunya dengan kunjungan Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas ke Jerusalem belum lama ini untuk mengampanyekan kekhawatiran tentang meningkatnya konflik dan gangguan keamanan di kawasan.
Namun, di antara negara-negara Eropa sendiri tidak ada kesepakatan yang bulat soal ini.
Pemerintah Israel sejauh ini belum mengeluarkan pernyataan apa pun terkait pernyataan bersama keempat menlu empat negara tersebut.
Namun, dalam sebuah pernyataan terpisah, kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyebutkan bahwa dirinya telah berdiskusi dengan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dan tetap pada komitmennya pada rencana Trump yang dinilainya realistis bagi kawasan dan Israel.
Baca juga: Sebut Ilegal, Jerman Tolak Rencana Aneksasi Israel di Tepi Barat
”Israel siap untuk melakukan negosiasi berdasarkan rencana perdamaian Presiden Trump yang kreatif dan realistis serta tidak akan kembali ke formula gagal di masa lalu,” kata Netanyahu.
Namun, dalam sebuah pernyataan terpisah, kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyebutkan bahwa dirinya telah berdiskusi dengan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dan tetap pada komitmennya pada rencana Trump yang dinilainya realistis bagi kawasan dan Israel.
”Israel siap untuk melakukan negosiasi berdasarkan rencana perdamaian Presiden Trump yang kreatif dan realistis serta tidak akan kembali ke formula gagal di masa lalu,” kata Netanyahu.
Kelompok Hezbollah di Lebanon dan Hamas di Palestina, Senin (6/7/2020), mengeluarkan pernyataan bersama yang berisi tentangan atas rencana pencaplokan wilayah Tepi Barat oleh Israel.
Baca juga: Soal Aneksasi Tepi Barat Palestina, Fadli Zon: Perlu Ada Pengucilan terhadap Israel
Mereka menyatakan rencana itu adalah sebuah rencana agresi terhadap rakyat Palestina.
Di dalam suratnya kepada pemimpin Hezbollah Hassan Nasrallah, pemimpin Hamas Ismail Haniyeh menyatakan, rakyat Palestina tengah berhadapan dengan situasi yang genting terkait rencana pencaplokan Israel.
Kelompok Hezbollah dan Hamas telah berulang kali terlibat konflik dengan militer Israel selama beberapa dekade terakhir. Amerika Serikat dan Uni Eropa mencap keduanya sebagai kelompok teroris.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.