JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendorong adanya perbaikan sistem rekrutmen petugas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A)
Hal ini disampaikan Komnas Perempuan merespons kasus pemerkosaan yang menimpa seorang anak perempuan berinisial N (14) di Lampung Timur, Lampung.
N dititipkan di rumah aman P2TP2A oleh orangtuanya karena menjadi korban perkosaan. Akan tetapi, N justru kembali menjadi korban perkosaan yang dilakukan Kepala P2TP2A.
"Harus dilihat ada yang salah di dalam penempatan petugas di rumah aman P2TP2A," kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi kepada Kompas.com, Rabu (8/7/2020).
Baca juga: Dugaan Pemerkosaan Anak di P2TP2A dan Urgensi RUU PKS Menurut Komnas Perempuan
Siti mengatakan, rumah aman P2TP2A seharusanya diisi oleh orang-orang yang punya kompetensi terkait pelayanan terhadap korban kekerasan seksual.
Sebab, ada banyak hal yang menjadi kewajiban petugas dalam melakukan pelayanan, seperti menangani trauma korban, memenuhi kebutuhan korban, dan memastikan keamanannya.
Namun demikian, karena P2TP2A merupakan lembaga pemerintah, rekrutmen petugasnya bergantung pada golongan pegawai negeri sipil (PNS).
Padahal, menurut Siti, akan lebih baik jika petugas P2TP2A yang menangani langsung korban kekerasan seksual adalah seorang perempuan.
Sebab, mayoritas korban kekerasan seksual adalah perempuan. Korban akan cenderung lebih nyaman jika ditangani oleh petugas yang juga perempuan.
Baca juga: Komnas Perempuan Sesalkan RUU PKS Ditarik dari Prolegnas Prioritas
Namun demikian, sangat memungkinkan terjadi situasi yang mana tidak ada PNS perempuan yang golongannya memenuhi syarat untuk menjadi pimpinan P2TP2A. Akibatnya, petugas P2TP2A terpaksa diduduki oleh laki-laki.
Oleh karenanya, perlu ada langkah tegas dalam mengubah sistem rekrutmen ini.
"Dibutuhkan evaluasi tidak hanya di Lampung, tapi terhadap sistem rekrutmen dan penempatan ASN di sistem penyelenggaraan perlindungan korban, rumah aman, ya P2TP2A," ujar Siti.
"Seharusnya ada langkah radikal ketika ini untuk kepentingan perempuan dan anak di mana sebenarnya korban kebanyakan perempuan, akan lebih nyaman dan lebih terbuka dengan perempuan," tuturnya.
Baca juga: Kepala P2TP2A Diduga Perkosa Anak, KPAI Minta Aturan Rekrutmen ASN Perlindungan Anak Dikaji Ulang
Siti menambahkan, evaluasi juga seharusnya dilakukan terkait penegakan SOP oleh petugas P2TP2A dalam menjalankan tugasnya.
Kasus yang menimpa N membuktikan bahwa ada persoalan pada lemahnya sistem pengawasan unit pemerintah tersebut.
Lebih lanjut, yang dinilai tak kalah penting adalah bantuan hukum dan jaminan perlindungan terhadap korban serta keluarga.
Siti mengatakan, pemulihan terhadap korban dan keluarga harus benar-benar dilakukan secara komprehensif.
"Juga pendampingan hukum untuk memastikan bahwa kasus ini berjalan tidak berhenti begitu saja, dan masyarakat tetap mantau dan mengawasi kasus ini," kata dia.
Sebelumnya diberitakan, N bocah 14 tahun asal Way Jepara Lampung Timur diperkosa oleh DA, Kepala UPT Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur.
Baca juga: Kepala P2TP2A Diduga Perkosa Anak , KPAI Sebut Ada Kecolongan Saat Rekrutmen
Tak hanya itu. N juga "dijual" oleh Kepala UPT P2TP2A untuk berhubungan badan dengan pria lain.
Ironisnya, N diperkosa oleh kepala UPT saat dia dititipkan di rumah aman milik pemerintah untuk menjalani pemulihan.
N dititipkan di rumah aman karena pernah menjadi korban perkosaan oleh pria tak bertanggung jawab beberapa waktu lalu.
"Jelas saya tidak terima. Anak saya bukannya dilindungi malah dipaksa melakukan perbuatan mesum," ujar Sugiyanto, ayah N Sabtu (4/7/2020) dilansir dari Tribunlampung.co.id.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.