Aturan tersebut dikesampingkan oleh MA. Sebab, PKPU 5/2019 diterbitkan oleh KPU pada 4 Februari 2019, sedangkan permohonan pengujian diajukan 14 Mei 2019.
Seharusnya, mengacu ketentuan UU, pengujian terhadap PKPU itu dilakukan paling lambat 19 Maret 2019.
"Preseden ini bisa menjadi buruk dan justru membuka ruang timbulnya ketidakpastian hukum yang baru dalam penegakan hukum pemilu di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari proses akhir dari putusan uji materil ini yang keluar pada 28 Oktober 2019 atau 8 hari setelah Presiden dan Wakil Presiden terpilih dilantik," tutur Ihsan.
Menurut Ihsan putusan semacam ini tidak untuk kali pertama terjadi.
Jelang Pileg 2019 lalu, MA juga membuat putusan yang tidak mengindahkan Putusan MK dalam kasus pencalonan Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) sebagai calon anggota DPD.
"Hal ini dapat berdampak pada terbukanya ruang untukbpermasalahan penegakan hukum kepemiluan di Indonesia," kata Ihsan.
Baca juga: KPU Sebut Putusan MA yang Dimohonkan Rachmawati Tak Berpengaruh pada Hasil Pilpres 2019
Meski begitu, Ihsan menyebutkan bahwa Putusan MA ini tak berpengaruh pada penetapan Joko Widodo-Ma'ruf sebagai paslon terpilih Pilores 2019.
Sebab, putusan MA tidak berlaku surut dan tidak membatalkan keputusan KPU terkait penetapan paslon terpilih.
"Putusan MA tersebut tidak berlaku surut dan tidak membatalkan keterpilihan Presiden dan Wakil Presiden terpilih," kata Ihsan.
Untuk diketahui, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan uji materi Pasal 3 Ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum.
Baca juga: MA Kabulkan Gugatan soal Pilpres, Bagaimana Nasib Hasil Pilpres 2019?
Gugatan ini diajukan oleh pendiri Yayasan Pendidikan Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri, dan kawan-kawan.
Dalam putusan Nomor 44 P/PHUM/2019 tersebut dan diunggah pada 3 Juli 2020 lalu, MA menyatakan Pasal 3 ayat 7 PKPU 5/2019 bertentangan denan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terutama Pasal 416 ayat 1.
"Mengabulkan permohonan hak uji materiil yang diajukan para pemohon untuk sebagian dan menyatakan Pasal 3 ayat 7 PKPU 5/2019 bertentangan dengan UU 7/2017," demikian dilansir Kompas.com dari Kontan.co.id, Selasa (7/7/2020).
Pasal 3 Ayat (7) PKPU 5/2019 berbunyi "Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon dalam pemilu presiden dan wakil presiden, KPU menetapkan pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai pasangan calon terpilih".
Sedangkan Pasal 416 Ayat 1 UU 7/2017 berbunyi "Pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20 persen (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia".
Dalam pertimbangannya MA berpendapat, KPU yang mengeluarkan PKPU 5/2019 telah membuat norma baru dari peraturan yang berada di atasnya, yakni UU 7/2019. Selain itu, KPU juga memperluas tafsir dalam pasal 416 UU 7/2017.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.