Sayangnya, sejauh ini upaya tersebut belum membuahkan hasil yang memadai. Perpres 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penggunaan Tanah di Kawasan Hutan, maupun Permen LHK 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, pada kenyataannya sama-sama tidak bisa memberikan jaminan bagi penyelesaian sawit swadaya di dalam kawasan hutan.
Penerbitan Inpres 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, dan INPRES 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan juga belum menunjukkan hasil bagi penyelesaian masalah ini.
Segenap kementerian membangun tafsir bahwa Perpres 88 Tahun 2017 tidak dirancang untuk kebun sawit rakyat di kawasan hutan. Seperti yang disebutkan dalam peraturan tersebut, bentuk – bentuk penggunaan lahan yang akan diselesaikan adalah pemukiman, lahan fasilitas umum atau fasilitas sosial, sawah, dan kebun campuran.
Sementara itu, penyelesaian kebun-kebun sawit swadaya melalaui Perhutanan Sosial juga tidak menjanjikan keberlanjutan usaha para pekebun.
Batasan waktu selama 12 tahun terhitung sejak tahun tanam (pasal 55 Permen LHK 83/2016) memberikan rambu bahwa para pekebun swadaya akan segera kehilangan aset sawitnya, bahkan pada masa puncak produktivitasnya.
Kini kebijakan ISPO kembali hadir dengan format dan semangat baru dalam hal pengelolaan perkebunan sawit berkelanjutan, di mana di dalamnya penataan legalitas lahan adalah salah satu prinsip penting yang harus dipenuhi.
Sudah seharusnya kehadiran ISPO bisa memberikan harapan baru bagi penyelesaian legalitas lahan kebun-kebun sawit swadaya yang selama ini mandeg.
Berangkat dari segenap persoalan tersebut, peluang terbesar penataan legalitas lahan harus dimulai dari kebun-kebun sawit swadaya yang berada di luar kawasan hutan.
Kebun-kebun semacam ini secara nasional luasnya mencapai 1,2 juta hektar, kira-kira 70 persen dari luas total kebun sawit swadaya yang ada di Indonesia (AURIGA, 2019).
Sebagian besar kebun-kebun sawit swadaya tersebut pada umumnya tidak ditopang dengan bukti pemilikan lahan yang memadai, dalam hal ini Sertifikat Hak Milik (SHM).
Bukti kepemilikan kebun rata-rata hanya berupa Surat Keterangan Tanah (SKT). Belum lagi legalitas usaha, yang harus ditunjukkan dengan Surat Tanda Daftar Budidaya (STD-B).
Kurang dari 1 persen dari kebun–kebun swadaya tersebut yang telah didaftar oleh pemerintah kabupaten, seperti amanat Permentan 98 Tahun 2013 Jo. Permentan Nomor 21 Tahun 2017 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
Berangkat dari situasi tersebut, implementasi PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap) dan pemetaan serta pendaftaran sawit rakyat swadaya di luar kawasan hutan dapat menjadi langkah awal bagi implementasi “ISPO Baru” untuk kebun sawit swadaya.
Baca juga: Pandemi Covid-19 Bikin Petani Sawit Gelagapan
Dengan demikian, implementasi “ISPO Baru”diharapkan akan menjadi momentum dimulainya era baru penataan legalitas kebun-kebun sawit swadaya, dari sporadis menjadi sistematis; dari yang tidak terkonsolidasi menjadi terkonsolidasi.
Upaya-upaya semacam itu perlu segera dimulai dan diarusutamakan, setidaknya dalam masa tenggang lima tahun yang disediakan untuk para pekebun.