Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Heryadi Silvianto
Dosen FIKOM UMN

Pengajar di FIKOM Universitas Multimedia Nusantara (UMN) dan praktisi kehumasan.

Survei Capres di Tengah Pandemi

Kompas.com - 22/06/2020, 11:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

BEBERAPA waktu lalu sebuah Lembaga survei merilis hasil tentang popularitas dan elektabilitas calon Presiden. Muncul sejumlah nama dengan berbagai temuan dan analisisnya.

Survei yang tidak sekadar menampilkan tentang penanganan Covid 19, namun juga siapa yang menangguk popularitas atasnya. Kemudian secara elektif memunculkan nama-nama yang layak digadang dalam pemilihan presiden di 2024.

Tidak bisa dinafikan dalam negara demokrasi hal yang wajar mengukur kinerja tokoh publik dengan survei dan riset persepsi yang dilakukan secara serial.

Tentu saja hasil survei ini masih sangat prematur dan terlalu pagi untuk disimpulkan, mengingat usia pemerintahan sekarang yang masih muda dan kontestasi pilpres yang masih jauh.

Terlebih rasanya kurang elok memupuk popularitas pencapresan ditengah pandemi Covid-19 yang masih belum jelas ujungnya dan secara kontekstual di Indonesia tren perkembangannya masih menanjak.

Baca juga: Survei: Elektabilitas Prabowo Turun Drastis, Anies Kalah dari Ganjar

Survei ini seakan menjadi semacam ekspresi new normal, karena sungguh tidak ‘etis’ mengukur elektabilitas politik di tengah pertempuran melawan Covid-19.

Ada banyak variabel yang menjadi pertanyaan dalam survei tersebut, hingga kemudian darinya muncul sejumlah jawaban. Temuan data tersaji di ruang publik tentang beberapa tokoh tertentu apakah kompeten atau tidak untuk masuk dalam ruang kompetisi dan kontestasi.

Konsep "kompetensi" telah digunakan sejak tahun 1970-an, ketika DC McClelland (1973) mengembangkan gagasan bahwa seperangkat keterampilan tertentu dan / atau kualitas pribadi akan menjadi indikator kinerja pekerjaan yang lebih baik daripada standar tes kecerdasan.

JS Bowmen, dalam buku Achieving Competencies in Public Service: The Professional Edge memperkenalkan model segitiga kompetensi (The Competencies Triangle) profesionalisme pelayanan publik.

Di mana setidaknya seseorang harus memiliki tiga kompetensi dasar yakni Teknis, Leadership, dan Etika. Khususnya di arena layanan publik seperti pemerintah, organisasi nirlaba, dan swasta.

Kompetensi teknis terdiri atas pengetahuan yang terspesialisasi, pengetahuan hukum, manajemen program, manajemen strategis dan manajemen sumberdaya.

Baca juga: Survei: Elektabilitas PDI Perjuangan Terjun Bebas

Adapun kompetensi Leadership terdiri atas penilaian dan penetapan tujuan, keterampilan manajamen hard/soft, gaya manajemen, keterampilan politik dan negosiasi, juga evaluasi.

Terakhir kompetensi Etika, dengan beberapa indikator diantaranya kemampuan manajemen nilai, kemampuan penalaran moral, moralitas pribadi, moralitas publik, dan etika organisasional.

Kepemimpinan dan Covid-19

Layanan publik sejatinya sangat dipengaruhi oleh konteks yang berubah dengan cepat di mana itu diatur dan dieksekusi.

Perubahan memengaruhi (1) teknis, (2) lingkungan manajerial, internal, (3) eksternal, dan (4) yang mencakup organisasi dan pemberian layanan publik.

Mereka berhasil menghadapi situasi yang tidak biasa, mengambil keputusan disaat yang sulit dan tetap berpegang kepada norma dan nilai-nilai kemanusiaan

Covid-19 secara subtansial telah mengubah banyak hal kehidupan manusia dewasa ini, tidak terkecuali di dalam bidang kepemimpinan dan politik. Bahkan beberapa negara pemimpinnya telah menjadi rujukan alternatif dan menuai apresiasi atas keberhasilan menekan serta mengendalikan Covid-19.

Tersebutlah nama Perdana Menteri Jacinda Ardern, Presiden Taiwan Tsai Ing-wen, Presiden Jerman Angela Merkel dan beberapa negara di skandinavia seperti Denmark, Finlandia, dan Islandia yang berhasil menahan laju penyebaran virus di negara masing-masing.

Mereka ‘menumbangkan’ nama besar dan kontroversial seperti Donald Trump, Emmanuel Macron, Xi Jinping, Jair Bolsonaro dan Narendra Modi.

Mereka tampak kelimpungan dan salah tingkah dalam mencegah penyebaran Covid-19. Keberhasilan pemimpin-pemimpin alternatif tersebut secara prinsip memenuhi prasyarat tiga kompetensi dasar dalam pelayanan publik: teknis, kepemimpinan, dan etika.

Segitiga Kompetensi dan Covid-19

Di sisi kompetensi teknis para pemimpin alternatif mengambil kebijakan berdasarkan pertimbangan yang terukur, rigid, dan landasan ilmiah (scientific based). Simultan dieksekusi dengan sangat rapi dan cepat.

Indikator berbasis epidemi dan perhitungan matang, bukan sekadar batasan waktu. Tokoh terdepan dalam hal ini adalah Presiden Taiwan Tsai Ing-wen dan Angela Merkel.

Angela Merkel, Kanselir Jerman, berdiri paling depan dan dengan tenang menyampaikan bahwa ini adalah wabah serius yang akan menginfeksi hingga 70 persen populasi. Namun atas dasar itu pula, Jerman melalukan persiapan lebih dini dan mendapatkan manfaat dari apa yang diterapkannya.

Adapun Tsai Ing-Wen belajar dari pengalaman buruk saat SARS menerpa Taiwan pada tahun 2003. Dirinya langsung bertindak lebih dini, sejak Januari.

Di kala World Health Organization (WHO) menyangsikan Taiwan, Tsai Ing-Wen lebih baik fokus menyusun dan menerapkan sejumlah langkah strategis. Memperkenalkan 124 langkah untuk mencegah penyebaran Covid-19 tanpa harus melakukan lockdown.

Membagikan jutaan masker ke seluruh penjuru negeri, memastikan setiap yang berobat terbuka dan terlayani. Karena dirinya sejak awal paham dan sadar tidak mau menjadi pemimpin yang tercatat dalam lembar kegagalan.

Covid-19 juga menghendaki hadirnya kompetensi Leadership, di mana kepemimpinan adalah kemampuan memadukan sejumlah elemen potensial dan manajerial dalam situasi yang terbatas.

Disadari beberapa pemimpin mahir dalam menangani sistem, tetapi memiliki permasalahan yang serius dan kurang dalam soft skill komunikasi. Padahal sangat penting untuk membina hubungan interpersonal yang produktif dan partisipasi kooperatif dalam tujuan bersama.

Kemampuan komunikasi ini bukan hanya didapuk oleh struktur tugas tertentu dengan pesona juru bicara (spokesperson), namun juga dirumuskan dalam sebuah grand design yang cermat hingga tingkat operasional dan mampu mengubah perilaku publik secara mendasar.

Menjalankan kebijakan relaksasi dan imbauan kehidupan new normal dengan tepat, agar tidak disalahpahami dengan ‘berbondong bondong’ euforia untuk berkumpul dan bercengkrama tanpa menaati protokol Covid-19.

Sanna Marin menjadi kepala negara termuda di dunia ketika terpilih Desember lalu di Finlandia. Seorang role model kepemimpinan milenial yang mampu memelopori penggunaan influencer media sosial sebagai agen utama dalam memerangi krisis Covid-19.

Menyadari bahwa tidak semua orang membaca media, mereka mengundang influencer dari segala usia untuk menyebarkan informasi berbasis fakta tentang pengelolaan pandemi.

Tugas influencer itu mengedukasi, bukan mensegregasi konflik dan menyebarluaskan disinformasi. Karena wabah bukan masalah berpihak kepada kompetisi politik, namun penyelesaian epidemi secara sistematik. Kolaborasi dan informasi yang bertanggung jawab menjadi penting.

Terakhir, perlu ada kompetensi Etika. Sebuah kompetensi moral yang mengacu pada nilai-nilai dan prinsip yang digunakan untuk memutuskan mana yang benar dan apa yang salah serta etis dengan merujuk kepada perilaku atau keputusan berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip tersebut.

Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg memiliki terobosan inovatif dengan menggunakan televisi untuk berbicara langsung dengan anak-anak.

Membangun ruang dialog yang sejuk dengan mengadakan konferensi pers khusus di mana tidak ada orang dewasa diizinkan.

Solberg menjawab setiap pertanyaan anak-anak dari seluruh negeri, meluangkan waktu untuk menjelaskan agar mereka tidak perlu takut namun tetap waspada. Langkah yang sangat adaptif nan humanis.

Dalam situasi wabah seperti saat ini sensitivitas kepemimpinan diperlukan, sehingga mampu mengisi ruang kepercayaan publik. Kegiatan dan kebijakan yang kontraproduktif ada baiknya disimpan dalam ‘saku celana’ tak perlu diumbar dengan serampangan ketengah publik.

Sayembara miskin empati, konser tanpa narasi, dan sejenisnya dicukupkan untuk sementara waktu. Karena sejatinya ada masih banyak ruang inovasi dan inspirasi yang bisa kita gunakan, tak harus dengan hingar bingar.

Pemimpin menempatkan nyawa bukan hanya sekadar angka-angka yang disampaikan setiap hari, hingga pada akhirnya publik menjadi mati rasa dan abai dalam perilaku kolektif.

Berkerja bukan sekadar mengejar popularitas untuk menaiki anak tangga kekuasaan, namun menghadirkan kemanfaatan untuk peradaban yang lebih besar.

Jika pada akhirnya penanganan Covid-19 di negeri berhasil, sesungguhnya kita ingin pastikan bahwa kerja kolektif dan kepemimpinan efektif telah menabuh asa bahwa masa depan akan lebih baik dari hari ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Nasional
Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Nasional
Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com