JAKARTA, KOMPAS.com - Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Undang-undang tersebut berisi tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Salah satu pemohon gugatan ialah perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). Mereka menggugat UU itu dari aspek formil dan materil.
Dari aspek formil, pemohon menilai bahwa pembentukan UU tersebut tidak sesuai dengan ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur konstitusi.
Baca juga: Perppu 1/2020 Telah Menjadi UU 2/2020, MAKI Kembali Layangkan Gugatan ke MK
Hal ini karena Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang menjadi cikal bakal Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 diterbitkan dan ditetapkan sebagai undang-undang dalam satu masa persidangan DPR.
Perppu itu terbit pada 31 Maret 2020 atau ketika DPR menginjak masa sidang ke-3. DPR kemudian menyetejui Perppu itu ditetapkan sebagai undang-undang pada 12 Mei 2020 atau pada masa sidang ke-3 pula.
Padahal, menurut pemohon, mengacu pada Pasal 22 UUD 1945, terbitnya suatu Perppu dan penetapannya sebagai UU tidak boleh dalam satu masa persidangan DPR.
"Bahwa pengesahan Perppu a quo menjadi UU tidak sah karena dibahas pada masa sidang DPR sekarang, di mana seharusnya dibahas pada masa sidang DPR yang berikutnya. Dengan demikian penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi UU adalah tidak sah dan batal," kata Kuasa Hukum pemohon, Rizky Dwi Cahyo Putra, dalam sidang pendahuluan yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (18/6/2020).
Dari aspek materil, pemohon menyoal tiga ayat dalam Pasal 27 UU Nomor 2 Tahun 2020.
Baca juga: Di Riau, Ditemukan Klaster Baru Penularan Covid-19 dari Karyawan Bank
Ketiga ayat pada pasal itu pada pokoknya mengatur bahwa biaya yang dikeluarkan pemerintah dalam program pemulihan ekonomi bukan merupakan kerugian negara. Kemudian, pemerintah dan pejabat yang menjalankan kebijakan ini tidak dapat dituntut baik secara pidana maupun perdata.
Menurut pemohon, keberadaan pasal itu akan membuat para pejabat terkait kebal hukum.
"Pasal 27 UU a quo menjadikan penguasa pejabat yang disebut seperti KKSK (Komite Stabilitas Sitem Keuangan), OJK (Otoritas Jasa Keuangan), BI (Bank Indonesia), Menteri Keuangan dan lain-lain akan menjadi kebal hukum, tidak bisa dituntut secara hukum perdata, pidana, maupun PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara)," ujar Rizky.
"Ketentuan a quo akan menjadikan penguasa atau pejabat menjadi manusia setengah dewa, otoriter, tidak demokratis," lanjut dia.
Baca juga: APD Langka dan Mahal, Tenaga Kesehatan Gugat Dua UU Ini ke MK
Oleh karena alasan-alasan tersebut, pemohon meminta MK menyatakan bahwa UU Nomor 2 Tahun 2020 tidak sah, atau setidaknya menyatakan Pasal 27 UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam persidangan yang sama, MK juga menguji UU Nomor 2 Tahun 2020 yang dimohonkan oleh Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika).
Pemohon menguji secara materil judul serta 13 ketentuan dalam UU tersebut, salah satunya Pasal 1 Ayat (3).
Pasal 1 Ayat (3) menyatakan bahwa untuk melaksanakan APBN harus dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Baca juga: Dampak Pandemi Covid-19 ke Penggunaan Teknologi
Sementara itu, pemohon mencermati, konsideran UU ini mengarah pada kegentingan yang memaksa untuk menangani pandemi Covid-19 sekaligus implikasi yang terjadi pada sektor perekonomian nasional, fiskal, dan moneter.
Bila judul UU dan Pasal 1 Ayat (3) dikaitkan dengan konsideran, pemohon memandang terdapat kontradiksi mengenai ruang lingkup pengaturan.
"Konsideran menghendaki segala upaya luar biasa pemerintah ditujukan untuk menghadapi pandemi Covid-19, tetapi judul dan ruang lingkup dalam Pasal 1 Ayat (3) Perppu ini ditujukan untuk menangani persoalan krisis ekonomi dan sistem keuangan dalam lingkup yang lebih luas lagi di luar yang bersangkutan dengan implikasi Covid-19," kata Kuasa Hukum pemohon, Violla Reininda, di persidangan.
Selain menyoal judul dan Pasal 1 Ayat (3), pemohon juga menggugat Pasal 2 Ayat (1) huruf a angka 1 dan 2, Pasal 3 Ayat (2), Pasal 4 Ayat (1) huruf b, dan Pasal 4 Ayat (2).
Kemudian Pasal 6, Pasal 7, Pasal 10, Pasal 27 Ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 29.
Baca juga: Di Sidang MK, Sri Mulyani Sebut Perppu 1/2020 Telah Menjadi UU 2/2020
Untuk diketahui, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 merupakan penetapan dari Perppu Nomor 1 Tahun 2020 sebagai undang-undang.
Perppu itu diterbitkan Presiden Joko Widodo pada 31 Maret 2020.
Sejak Perppu ini terbit, banyak pihak yang mengkritik. Mahkamah Konstitusi bahkan menerima tiga permohonan gugatan terkait Perppu ini.
Melalui rapat paripurna 12 Mei 2020 lalu, Perppu itu disetujui DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang.
Perppu tersebut resmi diundangkan dan dicatat dalam lembaran negara pada 16 Mei 2020.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.