JAKARTA, KOMPAS.com - Penelitian yang dilakukan Badan Intelejen Negara (BIN) dan Universitas Airlangga (Unair) berhasil membuat regimen atau kombinasi obat yang dapat menghambat perkembangan virus corona.
Ketua Pusat Penelitian dan Pengembangan Stem Cell Unair Purwati mengatakan, pihaknya melakukan penelitian terhadap 14 regimen.
Hasil penelitian menunjukkan lima kombinasi obat yang memiliki potensi dan efektivitas cukup baik untuk menghambat virus SARS-CoV-2 masuk ke dalam sel target.
Baca juga: UPDATE: Bertambah 1.111 Kini Ada 36.406 Kasus Covid-19 di Indonesia
Selain itu, kombinasi obat juga menurunkan perkembangbiakan virus di dalam sel.
"Hal ini kami ikuti bertahap, mulai dari 24 jam, 48 jam, dan 72 jam, virus tersebut dari yang jumlahnya ratusan ribu, di sini sudah jadi undetected (tidak terdeteksi)," ujar Purwati dalam konferensi pers di BNPB, Jumat (12/6/2020).
Adapun kelima kombinasi obat itu, pertama yakni kombinasi Lopinafir, Ritonavir, dan Azithromycin.
Kedua, kombinasi Lopinafir, Ritonavir, dan Doksisiklin. Ketiga, kombinasi Lopinafir, Ritonavir, Klaritromisin.
Keempat, kombinasi Hidroksiklorokuin dan Azithromycin. Kemudian kelima, kombinasi Hidroksiklorokuin dan Doksisiklin.
"Memang dari beberapa obat tersebut pernah dilakukan suatu penelitian tetapi dosisnya tunggal," kata dia.
Baca juga: UPDATE 12 Juni: Tambah 577 Orang, Pasien Sembuh dari Covid-19 Jadi 13.213
Oleh karena itu, pihaknya pun memilih melakukan regimen kombinasi karena selain berpotensi dan mempunya efektivitas cukup bagus membunuh virus, dosis yang digunakan dalam kombinasi tersebut juga lebih kecil.
Ia mengatakan, dosis yang digunakan hanya seperlima hingga sepertiga dari dosis tunggal sehingga sangat mengurangi toksisitas obat tersebut di dalam sel tubuh yang sehat.
"Dengan menurunnya jumlah sampai tidak terdeteksinya virus setelah diberikan regimen obat ini, maka hal itu akan bisa memutus mata rantai penularan," kata dia.
Baca juga: UPDATE: 12 Juni, Ada 2.048 Pasien Covid-19 yang Meninggal Dunia
Kelima regimen obat yang diteliti sudah beredar di pasaran.
Alasan penelitian dari obat yang sudah beredar ini adalah karena sudah melalui berbagai macam uji sampai izin edar dari Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM).
Termasuk juga alasan bahwa di masa pandemi ini, dibutuhkan sesuatu yang sifatnya darurat.
"Walaupun begitu kami tetap masih mempertimbangkan efek keamanan untuk tubuh pasien," kata dia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.