Mulai dari penafsiran agama, dituduh menghina agama, hingga mengaku agama tertentu.
"Termasuk menggunakan logo kepala anjing untuk nasi bungkus dan membubarkan shalat Jumat dalam rangka protokol kesehatan Covid-19," kata Asfinawati.
Hapus Pasal Penodaan Agama
Selain itu, Asfinawati meminta dihapusnya sejumlah pasal mengenai penodaan agama karena tidak memenuhi asas legalitas.
Asfinawati mengatakan, pasal mengenai penodaan agama tersebut terdapat di KUHP, Undang-Undang Ormas, serta Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Baca juga: YLBHI Pertanyakan Penggunaan Fatwa dalam Kasus Penodaan Agama
"Agar tidak multitafsir dan menjadi pasal yang mengkriminalilasikan kebebasan berpendapat, beragama, berkeyakinan, dan hak berekspresi lainnya," ujar Asfinawati.
Menurut dia, selama ini terjadi perluasan penggunaan pasal untuk perbuatan yang dianggap telah melakukan penodaan agama.
Terlebih, dalam penggunaan pasal tersebut juga diperparah dengan tidak adanya definisi yang jelas.
Sehingga hal itu menyebabkan penegak hukum cenderung dipengaruhi oleh desakan massa atau publik, terutama untuk kasus yang digambarkan sudah "viral".
Baca juga: Kontroversi Sukmawati: Ijazah Palsu, Laporkan Rizieq, dan Dugaan Penodaan Agama
Untuk itu, menurut Asfinawati, gangguaan ketertiban umum masih menjadi alasan untuk menangkap atau memproses kasusnya.
"Penegakan hukum cenderung dipengaruhi oleh tekanan publik dalam hal ini ada kesamaan pernyatan dari kepolisian yang sudah viral," ucap dia.
"Kalau UU ITE pasti akan ada kata jimatnya, kasus ini sudah viral sehingga harus ditindaklanjuti," kata Asfinawati.
Asfinawati juga menambahkan, selama ini kasus penodaan agama dianggap sama dengan penistaan agama.
"Dalam beberapa kasus kata penistaan agama lebih populer dari penodaan agama," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.