Ketua YLBHI Asfinawati mengungkapkan, terdapat tiga peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk menjerat dalam seluruh kasus penodaan agama tersebut.
"Pasal yang digunakan adalah Pasal 156a KUHP, Pasal 59 (3) UU Ormas, dan Pasal 28 (2) Jo 45a (2) UU ITE," ujar Asfinawati dalam diskusi daring, Selasa (9/6/2020).
Adapun sebaran 38 kasus penodaan itu terjadi di 16 provinsi, meliputi Sulawesi Selatan 6 kasus, Jawa Timur 5 kasus, Maluku Utara 5 kasus, Jawa Barat 4 kasus, dan Sumatera Utara 4 kasus.
Kemudian Kalimantan Selatan 2 kasus, Kepulauan Riau 2 kasus, DKI Jakarta 2 kasus, Bali 1 kasus, Gorontalo 1 kasus dan Jambi 1 kasus.
Selanjutnya, NTB 1 kasus, Papua 1 kasus, Riau 1 kasus, Sulawesi Utara 1 kasus dan Sumatera Selatan 1 kasus.
Asfinawati mengungkapkan, dari 38 kasus tersebut, ada kasus yang melibatkan massa.
"Bahkan ada sebuah kasus, masyarakat menangkap dan kemudian dibawa ke kantor kepolisian dan kepolisian memang cukup dilematis," kata Asfinawati.
Selain itu, dari total temuan kasus penodaan agama tersebut, terdapat 11 kasus yang belum ditetapkan.
Asfinawati juga menyebut terdapat kasus dengan tersangka anak di bawah 18 tahun yang cukup banyak, yaitu menyeret lima tersangka dalam dua kasus.
Tiga dari lima tersangka tersebut bahkan masih berusia 14, 15, dan 16 tahun.
Kemudian terdapat enam kasus dengan pelaku yang masih muda dengan kriteria sudah melewati usia 18 tahun, namun masih di bawah 21 tahun.
"Dari enam kasus di atas melibatkan 8 orang tersangka, dua berusia 18 tahun, dua orang berusia 19 tahun, dua orang berusia 20 tahun, dan dua orang berusia 21 tahun," katanya.
"Dari 38 kasus, 27 kasus terkait penggunaan media sosial," ucap Asfinawati.
Asfinawati menambahkan, seluruh kasus tersebut dianggap sebagai penodaan agama oleh publik, aparat penegak hukum, termasuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Mulai dari penafsiran agama, dituduh menghina agama, hingga mengaku agama tertentu.
"Termasuk menggunakan logo kepala anjing untuk nasi bungkus dan membubarkan shalat Jumat dalam rangka protokol kesehatan Covid-19," kata Asfinawati.
Hapus Pasal Penodaan Agama
Selain itu, Asfinawati meminta dihapusnya sejumlah pasal mengenai penodaan agama karena tidak memenuhi asas legalitas.
Asfinawati mengatakan, pasal mengenai penodaan agama tersebut terdapat di KUHP, Undang-Undang Ormas, serta Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
"Agar tidak multitafsir dan menjadi pasal yang mengkriminalilasikan kebebasan berpendapat, beragama, berkeyakinan, dan hak berekspresi lainnya," ujar Asfinawati.
Menurut dia, selama ini terjadi perluasan penggunaan pasal untuk perbuatan yang dianggap telah melakukan penodaan agama.
Terlebih, dalam penggunaan pasal tersebut juga diperparah dengan tidak adanya definisi yang jelas.
Sehingga hal itu menyebabkan penegak hukum cenderung dipengaruhi oleh desakan massa atau publik, terutama untuk kasus yang digambarkan sudah "viral".
Untuk itu, menurut Asfinawati, gangguaan ketertiban umum masih menjadi alasan untuk menangkap atau memproses kasusnya.
"Penegakan hukum cenderung dipengaruhi oleh tekanan publik dalam hal ini ada kesamaan pernyatan dari kepolisian yang sudah viral," ucap dia.
"Kalau UU ITE pasti akan ada kata jimatnya, kasus ini sudah viral sehingga harus ditindaklanjuti," kata Asfinawati.
Asfinawati juga menambahkan, selama ini kasus penodaan agama dianggap sama dengan penistaan agama.
"Dalam beberapa kasus kata penistaan agama lebih populer dari penodaan agama," kata dia.
https://nasional.kompas.com/read/2020/06/10/06425321/catat-38-kasus-dalam-5-bulan-ylbhi-minta-hapus-pasal-penodaan-agama
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & Ketentuan