Sedangkan, RUU Cipta Kerja menghapus ketentuan tersebut dan hanya mengatur batas luas wilayah untuk kegiatan eksplorasi pertambangan mineral dan batubara.
Hal ini, menurut Egi, akan membuka jalan bagi pebisnis untuk mengeksploitasi batubara seumur hidup.
"Banyak perusahaan berlisensi PKP2B yang memiliki luas wilayah lebih dari itu. RUU Cipta Kerja menghapus kepastian luas wilayah tersebut," kata Egi.
Baca juga: 8 Pasal Pertanahan RUU Cipta Kerja yang Menyita Perhatian
Keempat, RUU Cipta Kerja juga dinilai akan menguntungkan perusahaan batubara yang dimiliki oleh para elite, termasuk mereka yang duduk sebagai pejabat publik ataupun terafiliasi dengan perusahaan di negara "tax heaven".
Nama-nama di balik perusahaan tersebut antara lain keluarga Bakrie, keluarga Thohir, Wiwoho Basuki, hingga Sandiaga Uno.
"Hampir seluruh perusahaan batubara akan diuntungkan apabila RUU Cipta Kerja disahkan. Namun segera setelah disahkan, 7 perusahaan pemegang PKP2B generasi pertama akan diuntungkan," kata Egi.
Kelima, disahkannya RUU Cipta Kerja tersebut akan merugikan masyarakat dan lingkungan hidup.
Sebab, pemberian insentif dan keleluasaan bagi perusahaan tambang akan mendorong ekspansi wilayah pertambangan dan eksploitasi.
Hal ini juga menimbulkan pertanyaan terkait komitmen pemerintah terhadap krisis iklim.
"Selaras dengan itu, kerusakan lingkungan dan penggusuran pemukiman warga akan semakin marak terjadi." ujar Egi.
Baca juga: Buruh Minta Omnibus Law RUU Cipta Kerja Dibatalkan, Bukan Ditunda
"Alih-alih memberikan dorongan untuk transisi ke energi baru terbarukan (renewable energy), pemerintah justru memberikan insentif bagi pebisnis untuk semakin mengeruk batubara sebagai sumber energi kotor," tutur dia.
Melihat kelima poin di atas, ICW menilai Presiden Joko Widodo tidak berpihak pada kepentingan publik melainkan kepentingan privat.
"Dengan proses pembahasan dan isi yang bermasalah, omnibus law terindikasi sebagai jenis korupsi kebijakan dan adanya pembajakan negara oleh kepentingan privat (state capture)," ujar Egi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.