Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Catatan ICW atas RUU Cipta Kerja, Potensi Pembajakan SDA oleh Sektor Privat

Kompas.com - 05/05/2020, 16:16 WIB
Ardito Ramadhan,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan sejumlah catatan terkait omnibus law RUU Cipta Kerja, khususnya pada bagian energi dan sumber daya mineral (ESDM).

Peneliti ICW Egi Primayogha menilai, substansi RUU Cipta Kerja justru akan berdampak merugikan bagi lingkungan hidup dan menguntungkan para pebisnis atau sektor privat yang menguasai sumber daya alam.

"Produk hukum omnibus law akan merugikan kepentingan publik dan menguntungkan kepentingan privat. Terindikasi sebagai bentuk korupsi kebijakan publik dan pembajakan negara oleh kepentingan bisnis (state capture)," kata Egi dalam siaran pers, Selasa (5/5/2020).

Baca juga: Polemik RUU Cipta Kerja: Nasib Pekerja di Tangan Penguasa dan Pengusaha

Egi menuturkan, setidaknya ada lima masalah dalam RUU Cipta Kerja terkait ESDM.

Pertama, penerimaan negara dari sektor tersebut berpotensi hilang.

Alasannya, RUU Cipta Kerja menghapus kewajiban royalti yang wajib dibayarkan pengusaha kepada negara setelah mengeruk sumber daya mineral dan batubara.

Pengusaha yang berinisiatif mengolah batubara menjadi dimethyl ether (DME) atau gasifikasi batubara, akan mendapat insentif penghapusan kewajiban membayar royalti.

Padahal, pada 2018 penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) mencapai Rp 180 triliun, di mana 17 persen berasal dari pendapatan dari pertambangan mineral dan batubara.

"Secara khusus PNBP dari royalti batu bara pada 2018 mencapai Rp 21,854 triliun. Jika royalti dihapuskan, maka triliunan rupiah berpotensi lenyap. Penerimaan negara hilang, pebisnis diuntungkan," ujar Egi.

Baca juga: Ini 5 Alasan RUU Cipta Kerja Digugat ke PTUN

Kemudian, masalah kedua, kesempatan negara mengelola sumber daya secara mandiri dapat hilang.

Sebab, RUU Cipta Kerja menghapus ketentuan yang mewajibkan perusahaan batubara dengan lisensi Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) berubah ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Padahal, Pasal 81 UU Minerba menyatakan pemegang IUPK yang mendapatkan mineral logam atau batubara yang tergali wajib melaporkan kepada Menteri ESDM.

"BUMN/D mendapat prioritas untuk mengelola pertambangan batubara setelah masa waktu lisensi perusahaan PKP2B habis. RUU Cipta Kerja menghapus ketentuan IUPK dan prioritas bagi BUMN/D," kata Egi.

Ketiga, soal kelonggaran syarat pengelolaan batubara dalam RUU Cipta Kerja.

Dalam Pasal 83 UU Minerba, luas wilayah pertambangan mineral dibatasi hingga 25 ribu hektare dan pertambangan batubara 15 ribu hektare 

Sedangkan, RUU Cipta Kerja menghapus ketentuan tersebut dan hanya mengatur batas luas wilayah untuk kegiatan eksplorasi pertambangan mineral dan batubara.

Hal ini, menurut Egi, akan membuka jalan bagi pebisnis untuk mengeksploitasi batubara seumur hidup.

"Banyak perusahaan berlisensi PKP2B yang memiliki luas wilayah lebih dari itu. RUU Cipta Kerja menghapus kepastian luas wilayah tersebut," kata Egi.

Baca juga: 8 Pasal Pertanahan RUU Cipta Kerja yang Menyita Perhatian

Keempat, RUU Cipta Kerja juga dinilai akan menguntungkan perusahaan batubara yang dimiliki oleh para elite, termasuk mereka yang duduk sebagai pejabat publik ataupun terafiliasi dengan perusahaan di negara "tax heaven".

Nama-nama di balik perusahaan tersebut antara lain keluarga Bakrie, keluarga Thohir, Wiwoho Basuki, hingga Sandiaga Uno.

"Hampir seluruh perusahaan batubara akan diuntungkan apabila RUU Cipta Kerja disahkan. Namun segera setelah disahkan, 7 perusahaan pemegang PKP2B generasi pertama akan diuntungkan," kata Egi.

Kelima, disahkannya RUU Cipta Kerja tersebut akan merugikan masyarakat dan lingkungan hidup.

Sebab, pemberian insentif dan keleluasaan bagi perusahaan tambang akan mendorong ekspansi wilayah pertambangan dan eksploitasi.

Hal ini juga menimbulkan pertanyaan terkait komitmen pemerintah terhadap krisis iklim.

"Selaras dengan itu, kerusakan lingkungan dan penggusuran pemukiman warga akan semakin marak terjadi." ujar Egi.

Baca juga: Buruh Minta Omnibus Law RUU Cipta Kerja Dibatalkan, Bukan Ditunda

"Alih-alih memberikan dorongan untuk transisi ke energi baru terbarukan (renewable energy), pemerintah justru memberikan insentif bagi pebisnis untuk semakin mengeruk batubara sebagai sumber energi kotor," tutur dia.

Melihat kelima poin di atas, ICW menilai Presiden Joko Widodo tidak berpihak pada kepentingan publik melainkan kepentingan privat.

"Dengan proses pembahasan dan isi yang bermasalah, omnibus law terindikasi sebagai jenis korupsi kebijakan dan adanya pembajakan negara oleh kepentingan privat (state capture)," ujar Egi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Sangat Terkesan Anies-Muhaimin Hadiri Penetapan Hasil Pilpres 2024

Prabowo Sangat Terkesan Anies-Muhaimin Hadiri Penetapan Hasil Pilpres 2024

Nasional
Prabowo: Saya Enggak Tahu Ilmu Gus Imin Apa, Kita Bersaing Ketat…

Prabowo: Saya Enggak Tahu Ilmu Gus Imin Apa, Kita Bersaing Ketat…

Nasional
Prabowo: PKB Ingin Terus Kerja Sama, Mengabdi demi Kepentingan Rakyat

Prabowo: PKB Ingin Terus Kerja Sama, Mengabdi demi Kepentingan Rakyat

Nasional
Jokowi: UU Kesehatan Direvisi untuk Permudah Dokter Masuk Spesialis

Jokowi: UU Kesehatan Direvisi untuk Permudah Dokter Masuk Spesialis

Nasional
Cak Imin Titipkan Agenda Perubahan PKB ke Prabowo, Harap Kerja Sama Berlanjut

Cak Imin Titipkan Agenda Perubahan PKB ke Prabowo, Harap Kerja Sama Berlanjut

Nasional
Gibran Cium Tangan Ma'ruf Amin Saat Bertemu di Rumah Dinas Wapres

Gibran Cium Tangan Ma'ruf Amin Saat Bertemu di Rumah Dinas Wapres

Nasional
KPK Pecat 66 Pegawai yang Terlibat Pungli di Rutan

KPK Pecat 66 Pegawai yang Terlibat Pungli di Rutan

Nasional
Program Makan Siang Gratis Masih Dirumuskan, Gibran: Jumlah Penerima Segera Kami Pastikan

Program Makan Siang Gratis Masih Dirumuskan, Gibran: Jumlah Penerima Segera Kami Pastikan

Nasional
Wapres: Prabowo Lanjutkan Pemerintahan Jokowi, Tak Perlu Transisi

Wapres: Prabowo Lanjutkan Pemerintahan Jokowi, Tak Perlu Transisi

Nasional
Jokowi Disebut Akan Berikan Satyalancana ke Gibran dan Bobby, Istana: Tak Ada Agenda ke Surabaya

Jokowi Disebut Akan Berikan Satyalancana ke Gibran dan Bobby, Istana: Tak Ada Agenda ke Surabaya

Nasional
Takziah ke Rumah Duka, Jokowi Ikut Shalatkan Almarhumah Mooryati Soedibyo

Takziah ke Rumah Duka, Jokowi Ikut Shalatkan Almarhumah Mooryati Soedibyo

Nasional
 Presiden PKS Datangi Nasdem Tower, Disambut Sekjen dan Ketua DPP

Presiden PKS Datangi Nasdem Tower, Disambut Sekjen dan Ketua DPP

Nasional
Gibran: Pelantikan Wapres 6 Bulan Lagi, Saya Ingin ‘Belanja’ Masalah Sebanyak-banyaknya

Gibran: Pelantikan Wapres 6 Bulan Lagi, Saya Ingin ‘Belanja’ Masalah Sebanyak-banyaknya

Nasional
Sambutan Meriah PKB untuk Prabowo

Sambutan Meriah PKB untuk Prabowo

Nasional
Berkelakar, Menkes: Enggak Pernah Lihat Pak Presiden Masuk RS, Berarti Menkesnya Berhasil

Berkelakar, Menkes: Enggak Pernah Lihat Pak Presiden Masuk RS, Berarti Menkesnya Berhasil

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com