Apalagi distribusi dokter tidak merata di setiap daerah dan adanya risiko kelelahan (exhausted) dalam menangani pasien. Begitu pula, jumlah obat, alat pelindung diri (APD), dan mesin ventilator jumlahnya sangat terbatas. Seluruh hal tersebut akan membawa Indonesia pada kondisi chaos atau karut-marut.
Bila dicermati, salah satu dari sekian masalah adalah ketidaksiapan fasilitas kesehatan. Saat rumah sakit (RS) rujukan daerah atau pusat "dipaksa oleh keadaan" dan "secara naluriah" mempersiapkan diri untuk menerima pasien Covid-19, fasilitas kesehatan lain terkesan gelagapan untuk bertransformasi menjadi layanan kesehatan Covid-19.
Hal ini wajar karena begitu banyak sumber daya yang harus ditambah dan diubah, antara lain: ruang isolasi, APD, sarana diagnostik mikrobiologi dan radiologi, tenaga ahli, tenaga kesehatan yang "berani", alur dan protokol pelayanan, dan berbagai sistem RS lainnya.
Baca juga: Wabah Covid-19, Mendagri Minta Pemda Tangani Sektor Kesehatan dan Ekonomi secara Bersamaan
Rasa gelagapan ini selanjutnya berubah menjadi sikap yang bervariasi: ada yang berani maju, ada yang terkesan takut, dan ada pula yang menarik diri dari kancah layanan kesehatan Covid-19.
Dampaknya, sebagian besar beban layanan pasien bertumpu pada RS rujukan. Padahal dalam 1 provinsi, hanya terdapat 1-2 RS rujukan utama, yang sebelum era pandemi pun sudah kewalahan menerima pasien.
Saat ini, 132 RS di seluruh Indonesia telah ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan sebagai RS rujukan, ditambah lagi beberapa RS daerah yang ditunjuk oleh gubernur tiap provinsi. Apakah ini menyelesaikan masalah?
Jawabannya kembali tergantung dari seberapa banyak ruang isolasi dan tenaga yang mampu disiapkan oleh masing-masing RS. Dengan jumlah pasien yang dirawat saat ini sebesar 8.471, dan asumsi bahwa tiap RS mampu menyediakan 10 ruang isolasi, dibutuhkan 850 RS di seluruh Indonesia dengan kemampuan yang setara.
Atau sebaliknya, bila RS yang tersedia tidak sampai sejumlah tersebut, artinya setiap RS harus menyediakan ruang isolasi lebih dari 10. Lagi-lagi dengan catatan, kemampuan tiap RS harus setara. Sebuah pilihan yang sulit.
Aktivasi Sistem Kewilayahan: Regionalisasi Sistem Rujukan RS
Kendala ini dapat disiasati dengan melakukan regionalisasi pelayanan RS, setingkat kota, kabupaten, atau gabungan beberapa wilayah tertentu. Prinsipnya adalah pembentukan satelit-satelit pelayanan lingkup kecil dalam 1 provinsi.
Tiap sistem satelit terdiri atas 1 RS besar sebagai rujukan untuk beberapa RS atau fasilitas kesehatan yang lebih kecil. RS yang dijadikan rujukan tidak perlu dibatasi pada RS pemerintah, asalkan mampu secara paripurna memberikan pelayanan Covid-19.
Beberapa sistem satelit tersebut akan bergabung dalam satu sistem yang lebih besar, dengan RS rujukan utama provinsi sebagai pusatnya. Model ini analogis dengan sistem tata surya, yaitu tiap sistem bintang saling berhubungan membentuk galaksi.
Baca juga: Pandemi Covid-19: Ahli Ingatkan Tunda Bawa Anak ke Rumah Sakit, Kecuali Gejala Darurat Berikut...
Pembentukan sistem satelit ini dapat mengurangi beban RS rujukan utama, sehingga RS rujukan utama provinsi atau pusat bisa berkonsentrasi menangani kasus-kasus kompleks dan sub-spesialistik, atau mengembangkan teknik diagnostik dan terapeutik baru.
Andaikan tiap provinsi minimal bisa membentuk 4-5 sistem satelit, beban RS rujukan utama akan berkurang 75-80 persen.
Keuntungan lain adalah jarak transportasi pasien tidak terlalu jauh, mempersingkat waktu pasien untuk mendapatkan penanganan emergensi, mencegah penyebaran virus ke luar daerah, dan mempermudah pelacakan kasus pada daerah yang lebih sempit.