Pengalaman berbagai negara, terutama China dan Italia menunjukkan 90-95 persen pasien cukup dirawat di ruang isolasi biasa (non-ICU), atau bahkan tidak membutuhkan perawatan RS.
Hanya 5-10 persen pasien suspek Covid-19 membutuhkan perawatan intensif (Intensive care unit, ICU). Angka ini dapat dijadikan dasar pembagian level dan tugas tiap fasilitas kesehatan dalam sistem satelit.
Baca juga: UPDATE: Kini Ada 12.071 Kasus Covid-19 di Indonesia, Bertambah 484
Setiap sistem harus melakukan kajian terhadap kemampuan fasilitas kesehatan dalam wilayahnya, dan membagi dalam beberapa level. Contoh: level 1 untuk puskemas, klinik, RS tipe C-D; level 2 untuk RS tipe B-C, dan level 3 untuk RS tipe A-B.
Selanjutnya, fasilitas kesehatan level 1 bertugas melayani pasien rawat jalan dan inap derajat sakit ringan, level 2 untuk rawat jalan dan inap pasien derajat sakit sedang, level 3 untuk rawat inap pasien derajat sakit berat/kritis, dan RS rujukan utama khusus untuk perawatan pasien derajat sakit sedang-berat dan kompleks, yang membutuhkan penanganan sub-spesialistik.
Begitu pula dalam pembagian tugas diagnostik: level 1 cukup dengan pemeriksaan fisik dan kriteria diagnostik dari Kementrian Kesehatan, level 2 dibekali dengan rapid test, sedangkan level 3 dan RS rujukan utama dibekali dengan tes baku emas berbasis polymerase chain reaction (PCR).
Tiap fasilitas kesehatan harus mampu menyediakan ruang isolasi dengan jumlah sesuai kemampuan. Mengingat transmisi Covid-19 adalah melalui droplet (bukan airborne), adanya ruang isolasi terpisah dari layanan reguler, APD level 3 yang memadai, dan jalur pasien-petugas yang tidak bersinggungan dengan layanan reguler, sudah memadai untuk layanan Covid-19.
Tidak harus setiap fasilitas kesehatan menyediakan ruang isolasi tekanan negatif, kecuali RS rujukan dengan kasus-kasus kritis yang memerlukan tindakan berisiko aerosol (aerosolized generating procedure, AGP).
Tidak hanya ruang isolasi biasa, ruang ICU Covid-19 dapat pula diselenggarakan di fasilitas level 1, bila jumlah pasien makin meningkat melebihi kapasitas RS rujukan. Hal ini berdasarkan mekanisme penyakit yang mulai terkuak.
Awalnya diduga kematian pasien Covid-19 disebabkan oleh kerusakan paru (Sindrom Gawat Napas Akut) yang ditandai oleh penumpukan cairan di jaringan paru sehingga menjadi tidak elastis, sulit mengembang, dan tidak mampu menerima oksigen dalam jumlah memadai.
Sebagai konsekuensi, pasien memerlukan mesin ventilator. Ketersediaan mesin inilah yang menghambat kesiapan RS atau fasilitas kesehatan menyiapkan ICU.
Namun belakangan, diduga beberapa pasien menunjukkan gejala kekurangan oksigen (hipoksia) tanpa ada tanda-tanda penurunan elastisitas/komplians paru; gejala yang mirip dengan hipoksia akibat ketinggian.
Pada tahap ini, pasien tidak memerlukan ventilator, dan cukup dengan oksigen aliran tinggi (yang saat ini pasti ada di seluruh fasilitas kesehatan).
Pemeriksaan klinis berkala dengan dibantu pulse oximeter (yang bisa dibeli murah) merupakan metode sederhana yang sangat membantu pemantauan pasien kritis dalam beberapa jam atau hari pertama, sambil menunggu transfer pasien ke RS rujukan.
Di era daring (online) seperti saat ini, rasanya tidak sulit melakukan telemedicine untuk koordinasi layanan kesehatan, diskusi kasus antardokter, dan supervisi oleh tim dokter RS rujukan.
Kasus-kasus sulit dapat terpecahkan melalui diskusi jarak jauh. Jarak tempuh sudah bukan lagi batasan.