JAKARTA, KOMPAS.com - Tim Advokasi Pembela Kebebasan Pers akan menyiapkan 20 bukti surat untuk melawan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam agenda bukti surat pada sidang gugatan terkait pemutusan internet di Papua dan Papua Barat.
"Bukti surat sedang kami siapkan, sekitar lebih dari 20 bukti yang kita siapkan dari dampak terhadap pemutusan hingga dari soal administrasi para penggugat," ujar Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin di PTUN Jakarta, Rabu (5/2/2020).
Adapun tim advokasi pembela kebebasan pers menggugat Kemenkominfo sebagai Tergugat I dan Jokowi sebagai Tergugat II.
Kedua tergugat mangkir pada panggilan pertama pada 22 Januari 2020.
Baca juga: Mangkir sebagai Tergugat di Sidang Blokir Internet, Jokowi Dinilai Tidak Serius
Kemudian, pada sidang 29 Januari 2020, pemerintah bersikukuh bahwa pelambatan dan pemblokiran akses internet di Papua dan Papua Barat pada medio Agustus hingga September 2019 lalu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Hal itu disampaikan oleh kuasa hukum pemerintah dalam sidang yang mengagendakan pembacaan eksepsi di Pengadilan Tata Usaha Negara ( PTUN) Jakarta, sebagaimana dibacakan oleh ketua majelis hakim persidangan, Nelvy Christin.
Agenda pembuktian surat sendiri dijadwalkan akan berlangsung pada persidangan pekan depan, Rabu (12/2/2020) atau setelah duplik dari Tergugat I dan Tergugat II.
Ade Wahyudin mengatakan, bukti yang akan disiapkan berupa dokumen.
"Ya dokumen karena ini kan masih dalam bukti-bukti surat," kata dia.
Baca juga: Tim Advokasi Tegaskan Kedudukan Hukum soal Gugatan Pemblokiran Internet di Papua
Di sisi lain, Ade Wahyudin menegaskan, pemerintah gagal menafsirkan antara pemutusan internet dan pemutusan konten internet.
Berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektroni, diatur bahwa hak pemerintah untuk melakukan blocking atau menghapus setiap informasi yang melanggar UU seperti pornografi, SARA, terorisme dan pencemaran nama baik.
Namun, dalam kasus di Papua dan Papua Barat, pemerintah justru melakukan pemutusan internet, bukan memutuskan konten internet.
"Apakah semua internet dianggap sebagai konten negatif? Kan tidak juga. Ini banyak juga konten yang positif, salah satunya media," ucap Ade.
"Artinya dengan kesalahan dasar hukum tersebut kita anggap ini sudah melampaui kewenangan pemerintah," kata dia.
Baca juga: Pemblokiran Internet di Papua, Jurnalis Kesulitan Berikan Informasi ke Publik
Adapun pelambatan internet pada 19 Agustus 2019 dan pemblokiran internet pada 21 Agustus 2019 di Papua dan Papua Barat berujung gugatan.
Gugatan dilancarkan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet), LBH Pers, YLBHI, KontraS, Elsam, dan ICJR.
Sebab, pemerintah melakukan pemutusan internet pada 19 Agustus 2019 dan pemblokiran internet pada 21 Agustus di Papua dan Papua Barat.
Pembatasan akses itu dengan alasan untuk mengurangi penyebaran hoaks dan meminimalisasi penyebaran konten negatif yang dapat memprovokasi ketika terjadinya aksi massa di Papua.
Pihak kepolisian saat itu menyebut bahwa aksi anarkistis bisa lebih parah jika tak dilakukan pembatasan akses internet.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.