Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jumat Kelam Tragedi Semanggi 1998, Perjalanan Mencekam Bertemu Wawan...

Kompas.com - 24/01/2020, 13:25 WIB
Tsarina Maharani,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Hari itu, Jumat 13 November 1998, Maria Katarina Sumarsih seperti menemui lorong gelap panjang yang seolah tak berujung.

Sang anak terkasih, Bernadinus Realino Norma Irmawan atau Wawan, tewas di tangan aparat dengan satu letusan senjata api.

"Tanggal 13 November 1998 adalah hari Jumat Hitam yang kelam bagi kami sekeluarga, karena cinta kasih kami direnggut oleh aparat bersenjata yang menjadi alat rezim," tulis Sumarsih dalam 'Perjuangan Menuntut Kebenaran dan Keadilan', seperti dikutip dari buku Melawan Pengingkaran (2006), Jumat (24/1/2020).

Baca juga: Dugaan Kekerasan yang Sistematis dalam Kasus Tragedi Semanggi I dan II

Wawan merupakan mahasiswa Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta sekaligus aktivis Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK).

Ketika ketegangan gerakan mahasiswa dan masyarakat prodemokrasi memuncak jelang penutupan sidang istimewa MPR, Wawan tengah berada di kampus.

Sumarsih bercerita, sore itu seseorang bernama Ivon meneleponnya. Ivon menanyakan keberadaan Wawan.

"Saya langsung berteriak...," ujar Sumarsih.

"Ada yang kena, ya? Wawan ada di kampus," lanjutnya mengenang.

Sumarsih menyebut Ivon pun mencoba menenangkan dirinya.

"Tante tenang saja, Ivon akan mencari Wawan. Nanti Ivon telepon lagi," kata Sumarsih mengulang percakapan Ivon.

Baca juga: Pernyataan Jaksa Agung dan Rekomendasi DPR 2001 tentang Tragedi Semanggi

Tidak lama berselang, Romo Sandyawan Sumardi menelepon Sumarsih. Ia mengaku sudah tak lagi mendengar apa yang dikatakan Romo Sandy.

Menurut Sumarsih, ia hanya mengulang-ngulang pertanyaan soal keberadaan Wawan.

Telepon akhirnya diambil alih suami Sumarsih, Arief Priyadi.

Romo Sandy memberitahu agar Sumarsih dan Arif segera ke Rumah Sakit Jakarta.

"Irma (adik Wawan), saya suruh tunggu di rumah saja, barangkali Ivon masih akan menelepon," tuturnya.

Perjalanan mencekam bertemu Wawan

Setelah mendapat kabar itu, Sumarsih dan suaminya bergegas menuju rumah sakit. Mobil dikemudikan Sodik, adik ipar Sumarsih.

Sumarsih menuturkan, jalanan Jakarta sore itu mencekam.

"Di sepanjang jalan, saya berdoa Rosario mohon keselamatan untuk Wawan," kata Sumarsih.

Agar bisa sampai ke RS Jakarta dengan cepat, Sumarsih berinisiatif meminta bantuan polisi dan tentara yang bertugas di perempatan Tomang.

Namun, kata Sumarsih, mereka tak mau menolong.

"Saya dibentak-bentak," ucapnya. Ia diminta segera meninggalkan tempat dan mencari jalan lain.

"Saya kembali ke mobil sambil menangis," tutur Sumarsih.

Ketika sampai di RS Jakarta, Sumarsih dan Arief diarahkan menuju basement rumah sakit. Di basement, menurut Sumarsih, penuh orang terutama mahasiswa dan mahasiswi.

"Beberapa orang memeluk saya, menasihati agar saya tabah," ujarnya.

Saat itu, Sumarsih hanya ingin segera bertemu Wawan. Ia meronta-ronta.

"Di mana Wawan anak saya?" ucapnya berulang-ulang.

Aktivis mengikuti aksi kamisan ke-588 yang digelar oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (13/6/2019). Mereka menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang hingga kini belum ditangani.KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG Aktivis mengikuti aksi kamisan ke-588 yang digelar oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (13/6/2019). Mereka menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang hingga kini belum ditangani.

Wawan tewas dengan luka tembak

Sebuah pintu ruangan di basement dibuka. Sumarsih akhirnya bertemu Wawan.

Ia melihat Wawan terbaring di keranda terbuka dengan kedua tangan dilipat dan dua jempol kaki kanan dan kiri diikat kain putih.

Wawan memakai celana pendek dan kaus putih.

Ia meraba seluruh tubuh anak lelakinya itu.

"Wan, kamu lapar..., oh, Wan, kamu ditembak," ujar Sumarsih.

Sumarsih ingin segera membawa Wawan pulang ke rumah. Namun, ada yang meminta Wawan untuk diotopsi.

Sumarsih mengiyakan. Jenazah Wawan diotopsi di RSCM.

Sumarsih kemudian segera ingat Irma, adik Wawan, yang ada di rumah. Ia menelepon Irma.

"Irma, Mas Wawan ditembak. Sekarang sudah meninggal," tutur Sumarsih.

Irma menangis keras di balik telepon.

Selamat jalan anakku Wawan...

Sabtu pagi, 14 November 1998, Wawan diberangkatkan ke Gereja Maria Kusuma Karmel untuk disemayamkan.

Sumarsih mengatakan, sepanjang jalan dari rumah menuju gereja, banyak orang berada di pinggir jalan memberikan penghormatan kepada Wawan.

"Saya terkejut karena mobil begitu banyak, di lapangan parkir gereja tidak menampungnya. Gereja sudah dipenuhi oleh ribuan orang, tidak hanya beragama Katolik saja, tetapi banyak Ibu-ibu berjilbab dan bapak-bapak bersongkok putih. Tempat duduk di gereja penuh, banyak umat yang berdiri, dan ada pula yang duduk di lantai gereja," kenangnya.

Baca juga: Tak Mampu Selesaikan Tragedi Semanggi, Jaksa Agung Dianggap Cari Jalan Tengah

Bunga ucapan dukacita berjajar di depan gereja.

Peti Wawan dipanggul oleh kawan-kawannya dengan dikawal berbagai bendera elemen pergerakan serta diiringi koor yang menurut Sumarsih membuat suasana jadi kian haru.

"Gereja dihiasi dengan bunga yang sangat indah. Prosesi Misa Requiem dan arak-arakan para misdinar bersama 10 orang pastor dengan pakaian jubah merah bagaikan para malaikat yang datang menyambut Wawan, karena Tuhan Yesus Kristus berkenan menerima persembahan Wawan dalam peziarahannya di dunia," kata Sumarsih.

Aktivis mengikuti aksi kamisan ke-575 yang digelar oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (21/2/2019). Mereka menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang hingga kini belum ditangani.KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG Aktivis mengikuti aksi kamisan ke-575 yang digelar oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (21/2/2019). Mereka menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang hingga kini belum ditangani.

Jalan panjang yang gelap...

Wawan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Joglo. Ketika acara pemakaman selesai, Sumarsih merasa seperti ada di sebuah lorong gelap tak berujung.

"Saya mulai terbayang masa depan yang suram dan menakutkan," kata Sumarsih.

Ia mengatakan dirinya jadi berubah. Sumarsih bercerita ia tak bisa meninggalkan ruang tamu tempat Wawan diistirahatkan.

Sumarsih terus menanti perkembangan berita mengenai penembakan Wawan sambil terus berdoa.

Berbagai upaya dilakukan Sumarsih demi mengungkap kebenaran dan keadilan hingga bertahun-tahun kemudian.

Sejumlah surat telah ia kirimkan kepada pemerintah hingga ikut serta dalam aksi-aksi peringatan Tragedi Semanggi.

Namun, kebenaran dan keadilan yang ia tuntut rasa-rasanya masih tak tergapai. Belum ada cahaya di lorong gelap yang ia lalui.

"Sampai sekarang masih jauh dari depan mata saya...," kata Sumarsih.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Cuaca di Arab Sangat Panas, Ma'ruf Amin: Jangan Sampai Jemaah Haji Meninggal Kepanasan

Cuaca di Arab Sangat Panas, Ma'ruf Amin: Jangan Sampai Jemaah Haji Meninggal Kepanasan

Nasional
Prabowo Diminta Hindari Kepentingan Bagi-bagi Kursi, Jika Tambah Jumlah Kementerian

Prabowo Diminta Hindari Kepentingan Bagi-bagi Kursi, Jika Tambah Jumlah Kementerian

Nasional
Ada Wacana Duet dengan Ahok di Pilkada DKI, Anies: Memutuskan Saja Belum

Ada Wacana Duet dengan Ahok di Pilkada DKI, Anies: Memutuskan Saja Belum

Nasional
Anies Ingin Memastikan Pilkada Berjalan Jujur dan Bebas Intervensi Sebelum Tentukan Langkah

Anies Ingin Memastikan Pilkada Berjalan Jujur dan Bebas Intervensi Sebelum Tentukan Langkah

Nasional
Kegiatan Ibadah Mahasiswa di Tangsel Dibubarkan Warga, Menko Polhukam Minta Saling Menghormati

Kegiatan Ibadah Mahasiswa di Tangsel Dibubarkan Warga, Menko Polhukam Minta Saling Menghormati

Nasional
JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang 'Toxic'

JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang "Toxic"

Nasional
Tanggapi Luhut soal Orang 'Toxic', Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

Tanggapi Luhut soal Orang "Toxic", Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

Nasional
Profil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Dulu Antikorupsi, Kini Ditahan KPK

Profil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Dulu Antikorupsi, Kini Ditahan KPK

Nasional
Buru WN Nigeria di Kasus Email Bisnis Palsu, Bareskrim Kirim 'Red Notice' ke Interpol

Buru WN Nigeria di Kasus Email Bisnis Palsu, Bareskrim Kirim "Red Notice" ke Interpol

Nasional
Sama Seperti Ganjar, Anies Berencana Berada di Luar Pemerintahan

Sama Seperti Ganjar, Anies Berencana Berada di Luar Pemerintahan

Nasional
Anggap 'Presidential Club' Prabowo Positif, Jusuf Kalla: di Seluruh Dunia Ada

Anggap "Presidential Club" Prabowo Positif, Jusuf Kalla: di Seluruh Dunia Ada

Nasional
Dituntut 1 Tahun Penjara Kasus Pencemaran Nama Ahmad Sahroni, Adam Deni Ajukan Keberatan

Dituntut 1 Tahun Penjara Kasus Pencemaran Nama Ahmad Sahroni, Adam Deni Ajukan Keberatan

Nasional
Anies Mengaku Belum Bicara Lebih Lanjut Terkait Pilkada DKI Jakarta dengan Surya Paloh

Anies Mengaku Belum Bicara Lebih Lanjut Terkait Pilkada DKI Jakarta dengan Surya Paloh

Nasional
KPK Tahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

KPK Tahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

Nasional
Prabowo Tak Perlu Paksakan Semua Presiden Terlibat 'Presidential Club'

Prabowo Tak Perlu Paksakan Semua Presiden Terlibat "Presidential Club"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com