Sebab, individu yang terindikasi melakukan eksploitasi pekerja migran tidak dipertanggungjawabkan secara hukum.
Sebaliknya, terduga pelanggar hak pekerja dan TPPO mendirikan perusahaan dengan model bisnis yang serupa, IClean Shd Bhd contohnya.
Wahyu berpendapat, rentetan peristiwa tersebut memperlihatkan adanya kerentanan para pekerja migran yang diduga menjadi korban perdagangan manusia.
Kerentanan itu antara lain, kriminalisasi dengan tuduhan melanggar keimigrasian. Mereka juga menghadapi diskriminasi hukum dan dijauhkan dari akses keadilan.
"Seharusnya Polisi Diraja Malaysia, selain memproses dugaan tindak pidana perdagangan orang, juga harus memproses dugaan pelanggaran hak-hak pekerja migran sebagaimana yang dialami oleh para pekerja perusahaan IClean Sdn Bhd," kata dia.
Baca juga: Polda NTB Ungkap Perdagangan Orang Terkait Kasus Kematian TKI di Arab
Diberitakan sebelumnya, delapan perempuan yang berasal dari berbagai daerah diduga menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) oleh perusahaan di Malaysia, IClean Services Sdn Bhd.
Dugaan TPPO diungkapkan Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Buruh Migran Berdaulat, Migrant Care.
"Pada tanggal 23 November 2019, Migrant CARE Malaysia menerima pengaduan (TPPO) dari delapan perempuan pekerja migran Indonesia yang bekerja di Malaysia," ujar Wahyu.
Ia mengatakan, delapan perempuan itu di antaranya berasal dari Padang, Cilacap, Sumbawa, Sumba Timur, Nagakeo, dan Sumba Barat.
Mereka direkrut oleh dua perusahaan dalam sebelum disalurkan ke Malaysia, yakni PT Bukit Mayak Asri dan PT Millenium Muda Makmur ke perusahaan IClean Services.
Wahyu menuturkan, dalam pengaduan ke Migrant Care Malaysia, mereka mengaku dalam situasi dan kondisi bekerja yang tidak layak.
Sebab, perusahaan tersebut diduga melanggar kontrak kerja, antara lain penempatan kerja, pembayaran, dan besaran gaji yang tidak sesuai dengan kontrak kerja.
Baca juga: 25 TKI Ilegal Terlantar di Pantai Bakau Nongsa Diselamatkan Polisi
Tak hanya itu, IClean Services diduga mengabaikan hak dengan tidak adanya penggantian uang kerja lewat jam kerja atau uang lembur.
Kemudian, terjadi penahanan dokumen, pembatasan akses komunikasi, terbatasnya peralatan keselamatan kerja, hingga terjadinya kekerasan.
"Bahkan ditemukan praktik penempatan pekerja anak (di bawah umur), salah satu pekerja migran diberangkatkan saat berusia 16 tahun," ujar Wahyu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.