Perayaan Imlek dan Cap Gomeh tentu akan terhambat Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Namun, Gus Dur dengan spontan berkata akan segera mencabut Inpres tersebut.
Inpres akhirnya dicabut dengan terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 pada 17 Januari 2000.
Karena Keppres tersebut, masyarakat Tionghoa akhirnya bisa merayakan Imlek atau hari raya lainnya secara terbuka.
Kemeriahan Imlek akhirnya bisa dirasakan di Indonesia. Nuansa warna merah, lampion gantung, dan hiasan angpao tampak indah menghiasi pertokoan.
Atraksi barongsai juga ikut menjadi daya tarik saat perayaan Imlek.
Meski sudah bisa merayakan secara terbuka, baru dua tahun kemudian, tepat di era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, Imlek dijadikan hari nasional.
Hal itu disampaikan Mega saat menghadiri Peringatan Nasional Tahun Baru Imlek 2553 pada 17 Februari 2002.
Sementara itu, penetapan Imlek sebagai hari libur nasional baru dilakukan pada 2003.
Bapak Tionghoa Indonesia
Meski sudah mencabut Inpres Nomor Nomor 14 Tahun 1967, pada tahun 2004 Gus Dur menyebut setidaknya ada ribuan peraturan yang memicu diskriminasi.
"Masih ada 4.126 peraturan yang belum dicabut, misalnya, soal SBKRI. Itu kan sesuatu yang tidak ada gunanya," kata Gus Dur dikutip dari Harian Kompas yang terbit pada 11 Maret 2004.
Gus Dur termasuk salah seorang yang tidak setuju dengan aturan yang bersifat diskriminatif termasuk pada etnis Tionghoa.
Baca juga: Cerita Tan Jin Sing, Bupati Yogyakarta Keturunan Tionghoa: Intrik Keraton hingga Perang Diponegoro
Dia pun meminta masyarkat Tionghoa untuk terus berani memperjuangkan hak-haknya.
"Di mana-mana di dunia, kalau orang lahir ya yang dipakai akta kelahiran, orang menikah ya surat kawin, tidak ada surat bukti kewarganegaraan. Karena itu, saya mengimbau kawan-kawan dari etnis Tionghoa agar berani membela haknya," ujar dia.
Gus Dur mengatakan, etnis Tionghoa juga bagian dari Bangsa Indonesia. Karena itu, tokoh Nahdlatul Ulama ini meminta seluruh masyarakat Indonesia memberikan hak dan kesempatan yang sama.