BEBERAPA hari yang lalu bangsa kita memperingati Hari Bela Negara, tepatnya setiap 19 Desember. Tahun ini adalah peringatan yang ke-71, namun sepertinya gaungnya masih terbatas pada adanya upacara di instansi pemerintah dan tentu kualitas kesadaran warganegara terkait bela negara perlu menjadi kajian kita semua.
Bahkan masih banyak yang belum mengetahuinya, 19 Desember 1948 merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia memperingati terbentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, untuk mengisi kekosongan kepemimpinan Pemerintahan negara Kesatuan Republik (NKRI) dalam rangka bela negara.
Mengapa negara harus dibela?
Dalam konsepsi geopolitik, negara adalah semacam organisme yang hidup. Yang mengikuti siklus alamiah seperti manusia, yaitu lahir, tumbuh, berkembang, maju, kemudian menyusut dan ahirnya mati.
Eksistensi bangsa dan negara juga senantiasa menghadapi beragam ancaman yang bersifat multidimensi.
Bela negara harus menjadi perhatian dan komitmen kita semua. Presiden Jokowi dalam amanat hari bela negara mengatakan, bela negara bukan hanya alat apabila negara dan bangsa menghadapi ancaman, tapi juga bisa menjadi alat untuk mencapai tujuan nasional bangsa.
Untuk itu, bela negara perlu disesuaikan dengan kondisi kekinian masyarakat sebagai wujud aktualisasi, serta dilandasi sinergi semua pemangku kepentingan, sehingga terwujud kekuatan yang besar untuk mencapai tujuan besar bangsa.
Maka diperlukan sumber daya unggul bangsa, termasuk semberdaya manusia Indonesia yang paripurna. Yang menurut Presiden Jokowi, manusia paripurna tidak hanya memiliki kapasitas dan keterampilan yang tinggi, namun manusia paripurna adalah makhluk Tuhan yang bisa mensyukuri berkah kebhinekaan, mampu bekerja sama, dan siap menghadapi persaingan global yang kompetitif.
Era disrupsi saat ini menuntut kita berubah dan berinovasi agar tidak tertinggal atau bahkan punah. Termasuk dalam merawat eksistensi dan keutuhan negri tercinta. Signifikan faktornya tergantung pada kualitas dan kuantitas kesadaran bela negara warganegaranya, yang tentu tidak hanya menjiwai dan mencintai juga memiliki kemampuan awal bela negara.
Kemampuan awal bela negara, diartikan sebagai potensi dan kesiapan untuk melakukan aksi bela negara sesuai dengan profesi dan kemampuannya masing-masing. Idealnya semua warganegara yang memiliki kemampuan bela negara diharapkan mau berperan sebagai influencer, insan kreatif yang mampu memengaruhi lingkungan masing-masing dalam upaya bela negara.
Warga negara yang berperan sebagai influencer diperlukan, agar aksi bela negara dapat terwujud secara sistimatis, terstruktur, terstandarisasi dan masif sesuai yang dimanatkan oleh Inpres No 7 tahun 2018, tentang Rencana Aksi Nasional Bela negara
Peran influencer demikian penting, mengingat hakekat perang yang dihadapi saat ini bersifat asimetris, yaitu pertikaian dan perang yang tidak mengutamakan penggunaan senjata fisik melainkan perang ide-ide dan narasi untuk menjatuhkan lawan menggunakan dengan strategi modern dan media digital.
Termasuk strategi proxy war, perang yang menggunakan tangan orang lain untuk memukul, termasuk dengan senjata disinformasi (hoaks) dalam bentuk berita bohong, fitnah dan ujaran kebencian. Yang sangat potensial merusak sendi-sendi keutuhan bangsa Indonesia. Terlebih saat momentum kontestasi politik pilpres dan pileg yang penuh dengan kegaduhan dan provokatif.
Sehingga kehadiran influencer bela negara, diharapkan mampu menjadi penengah, oase yang menyejukan dan promotor silaturahmi ditengah polarisasi masyarakat akibat kontestasi politik yang tajam dengan menebar virus persaudaraan, virus nalar positif dalam berpolitik dan bijak dalam berpolitik untuk mewujudkan kebajikan publik dengan cara demokratis dan konstitusional.
Influencer adalah kata serapan dari bahasa Inggris, awalnya digunakan dalam bidang marketing yang dikenal dengan nama marketing influencer. Selanjutnya menjadi kosa kata yang popular dan digunakan dalam keseharian dalam wacana publik yang terkait dengan makna pemengaruh.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.