JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah memperketat seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2019 serta aktivitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam hal ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Untuk peserta CPNS 2019, Sekretaris Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Dwi Wahyu Atmaji menjelaskan, pemantauan dilakukan dibantu oleh Polri.
Pertama, menelusuri rekam jejak peserta CPNS melalui Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).
Kemudian, dilakukan pemantauan media sosial peserta. Langkah ini dilakukan guna mengetahui apakah peserta pernah mengunggah konten berbau anti-Pancasila atau tidak.
"Pokoknya anti-NKRI, (anti) Pancasila, tidak lolos," ujar Dwi usai penandatanganan bersama dengan 12 kementerian dan lembaga negara di Hotel Grand Sahid Jakarta, Selasa (12/11/2019).
Baca juga: Kemenpan RB Sebut Sudah Kantongi Data ASN yang Terjangkit Radikalisme
Penyaringan serupa juga akan kembali dilakukan pada tahapan tes seleksi kompetensi bidang. Semua instansi yang kebagian formasi CPNS sudah mendapatkan sosialisasi terkait ini.
Sementara untuk ASN, sebanyak 12 kementerian dan lembaga sepakat untuk meluncurkan platform aduan praktik radikalisme. Portal itu bernama www.aduanasn.id.
Melalui portal itu, ASN atau masyarakat umum dapat melaporkan apabila ada ASN yang diduga radikal, anti-Pancasila dan anti-NKRI.
Dwi mengatakan, sebagai ASN, mereka wajib memahami empat pilar kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Empat pilar kebangsaan ini dapat menjadi pijakan di dalam menjalankan dan berkontrubusi terhadap pemerintahan.
"Pada dasarnya, kalau KemenPAN RB ini, kembali lagi ke UU ASN bahwa seorang ASN harus patuh serta taat pada empat pilar tadi, sederhananya seperti itu," lanjut Dwi.
Baca juga: Cegah Radikalisme pada ASN, Kemenpan RB Libatkan BNPT
Apabila ASN memiliki pendapat atau kritik terhadap pemerintah, Dwi menyarankan menyampaikannya ke atasan masing-masing, tidak diumbar di media sosial. Apalagi tidak didasarkan pada fakta dan data yang jelas.
"Kritik terhadap pemerintah, kita lihat dulu kritiknya seperti apa. Karena sebagai ASN itu punya kewajiban untuk mengamankan kebijakan pemerintah," kata Dwi.
"Kalau ingin mengkritik, tentu ada salurannya. Lebih baik menyampaikan langsung kepada atasannya, kepada menterinya dan lain-lain. Tidak melalui media sosial," sambung dia.
Dilansir dari laman portal itu, terdapat 11 poin yang masuk ke dalam kategori aduan, yakni:
1. Penyampaian pendapat baik lisan maupun tertulis dalam format teks, gambar, audio atau video melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan pemerintah;
2. Penyampaian pendapat baik lisan maupun tertulis dalam format teks, gambar, audio, atau video melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras dan antar golongan;
3. Penyebarluasan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian sebagaimana pada angka 1) dan 2) melalui media sosial (share, broadcast, upload, retweet, repost dan sejenisnya);
4. Pemberitaan yang menyesatkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan;
5. Penyebarluasan pemberitaan yang menyesatkan baik secara langsung maupun melalui media sosial;
6. Penyelenggaraan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah;
7. Keikutsertaan pada kegiatan yang diyakini mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah;
8. Tanggapan atau dukungan sebagai tanda setuju pendapat sebagaimana angka 1) dan 2) dengan memberikan likes, dislike, love, retweet atau comment di media sosial;
9. Penggunaan atribut yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah;
10. Pelecehan terhadap simbol-simbol negara baik secara langsung maupun melalui media sosial;
11. Perbuatan sebagaimana dimaksud pada angka 1) sampai 10) dilakukan secara sadar oleh ASN.
Baca juga: Anggota Komisi III DPR: Jangan Kaitkan Radikalisme pada Agama
Dwi sekaligus memastikan, ASN yang diadukan atas berbagai tindakan di atas tidak serta merta bisa langsung dikenakan sanksi.
"Kita ada mekanisme membela diri dan lain-lain, tidak semata-mata kita berikan sanksi," papar Dwi.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate menegaskan, kategori tindakan ASN yang dapat diadukan ini bukan bermaksud untuk melindungi pemerintah dari kritik.
Intinya, ASN tetap boleh melontarkan kritik pemerintah. Asalkan, kritik didasarkan pada data, bukan persepsi.
"Mengkritik boleh. Semuanya boleh mengkritik. Kalau ASN juga boleh mengkritik pekerjaannya sendiri, yang tidak boleh yang tidak dengan dasar, yang fitnah, bacalah secara lengkap, nanti bias di masyarakat ini," ujar Johnny di Hotel Grand Sahid Jakarta, Selasa (12/11/2019).
Baca juga: ISNU: daripada Ganti Istilah, Sebaiknya Jokowi Potong Akar Radikalisme
Ia mengungkapkan bahwa hal tersebut sebagai upaya kebaikan bersama antara negara dan ASN. Sebab, ASN mempunyai peran penting dan strategis untuk membantu gerak penyelenggaraan negara dan pemerintah.
"ASN boleh mengkritik pekerjannya juga boleh. Tetapi harus didasari dengan data data yang lengkap dan akurat. Bukan fitnah bukan hoaks," ujar Johnny.
"Yang bukan menebar fitnah, menebar hoaks, dengan dasar yang kuat, itu yang ditangani agar menggunakan dengan benar," sambung dia.
Adapun, 12 kementerian dan lembaga yang berkomitmen menerapkan sistem aduan ini, yakni KemenPAN-RB, Kemendagri, Kemenko Polhukam, Kemenag, Kemendikbud, Kemenkumham, Kemnkominfo, BKN, BNPT, BIN, BPIP dan KPK.