Setelah lelang dilaksanakan, diduga terdapat selisih harga antara harga yang ditetapkan di dalam lelang dengan kerja sama yang telah dilakukan dengan produsen helikopter tersebut.
Menurut Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan, Irfan telah melakukan kerja sama dengan produsen AgustaWestland di Inggris dan Italia. Kontrak pembelian yang disepakati waktu itu senilai Rp 514 miliar.
Namun ketika lelang dilakukan dan PT DJM ditetapkan sebagai pemenang, nilai kontrak dengan TNI AU dinaikkan menjadi Rp 738 miliar.
Dengan demikian, terdapat selisih Rp 224 miliar yang dinilai menjadi potensi kerugian negara dalam proses pengadaannya.
Meski demikian, hingga kini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) belum menyelesaikan audit kerugian negara dalam peristiwa tersebut. Padahal, KPK telah meminta penghitungan tersebut sejak jauh sebelumnya.
Belum adanya audit kerugian negara ini dinilai menjadi salah satu alasan KPK terlalu prematur dalam menetapkan tersangka pada kasus ini.
"Dalam kasus ini, KPK sepertinya terlalu prematur dalam menetapkan tersangka," kata dosen hukum keuangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dian Simatupang, saat sidang gugatan praperadilan yang diajukan tersangka Irfan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 7 November 2017 silam.
Baca juga: Kasus Pembelian Heli AW 101, KPK Dalami Proses Pembayaran Pemesanan
Namun, saat itu KPK berdalih penyidik KPK dapat melakukan penghitungan kerugian negara. Hal itu telah dilakukan dan diperiksa kembali oleh ahli dari BPK saat dilakukan rapat koordinasi.
Hal lain yang menjadi kendala, menurut Juru Bicara KPK Febri Diansyah, sulitnya menjadwalkan pemeriksaan terhadap sejumlah perwira menengah. Padahal, KPK dan POM TNI telah bekerja sama sebelumnya untuk menyelesaikan kasus ini.
"Sebelumnya KPK telah berkoordinasi dengan POM TNI dalam penanganan perkara ini. Semua saksi dalam kasus ini tidak hadir. Kami di KPK ataupun POM TNI belum mendapat konfirmasi alasan ketidakhadiran," kata Febri.
Sementara pihak TNI mengaku kesulitan mengungkap inisiator pembelian helikopter tersebut. Dari hasil penyelidikan POM TNI, penyimpangan diduga terjadi dalam proses pengadaan.
"Dalam tindak pidana korupsi inisiator itu pasti ada dan kami kejar terus di mana inisiator pembelian ini sampai bisa terjadi," kata Komandan Pusat Polisi Militer Mayor Jenderal TNI Dodik Wijanarko, 4 Agustus 2017 silam.
Baca juga: POM TNI Tetapkan Kolonel FTS Tersangka Kasus Pengadaan Heli AW 101
Menurut dia, sebenarnya POM TNI telah memperoleh gambaran inisiator pengadaan. Namun, pihaknya memerlukan sejumlah pembuktian untuk memperoleh kepastian hukum lainnya.
Ia menegaskan, tak ada kesengajaan dari pihak POM TNI untuk memperlambat proses tersebut. Sebab, untuk memastikannya tak bisa dilakukan secara gegabah dan ceroboh.
"Sudah kelihatan bayang-bayang insiatornya siapa. Tetapi hukum tidak bisa demikian, hukum perlu keterangan saksi dan keterangan yang lain, sehingga ketika kita menetapkan tersangka lainnya sah," ujarnya.
Sumber: Kompas.com (Penulis: Robertus Belarminus, Dylan Apriando Rachman, Abba Gabrilin)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.