Salin Artikel

Ini Kasus Heli AW101, yang Disebut Belum Diselesaikan KPK

Namun, kasus ini belum selesai penanganannya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyatakan, kompleksitas penanganan dan pengumpulan alat bukti menjadi salah satu kendala dalam penanganan kasus ini.

Padahal, di saat yang sama KPK telah berkoordinasi dengan POM TNI untuk pengungkapan kasus.

"KPK menangani satu orang pihak swasta, sedangkan POM TNI menangani tersangka dengan latar belakang militer," kata Laode melalui keterangan tertulis, Selasa (12/11/2019).

Pernyataan Laode menanggapi pernyataan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD yang menyebutkan bahwa Presiden Jokowi pernah menyampaikan laporan kepada KPK. Namun kasusnya tak kunjung diungkap.

Dalam kasus ini, TNI telah menetapkan lima tersangka. Mereka adalah Kepala Unit Pelayanan Pengadaan Kolonel Kal FTS SE, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa Marsekal Madya TNI FA, dan pejabat pemegang kas Letkol administrasi WW.

Lainnya, staf pejabat pemegang kas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu, yakni Pelda (Pembantu Letnan Dua) SS dan asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara Marsda TNI SB.

Selain itu, staf pejabat pemegang kas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu, yakni Pelda (Pembantu Letnan Dua) SS dan asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara Marsda TNI SB.

Sementara KPK menetapkan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka.

Kasus ini bermula saat TNI Angkatan Udara melakukan pengadaan satu unit helikopter AgustaWestland AW101 pada 2016 lalu.

Awalnya, Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) saat itu, Marsekal Agus Supriatna menyebutkan, pihaknya akan membeli enam unit helikopter yang berasal dari Inggris tersebut.

Rinciannya, tiga unit untuk alat angkut berat dan tiga unit untuk kendaraan VVIP. Namun, Presiden Jokowi pada Desember 2015 silam menolak usulan pengadaan helikopter tersebut.

Menurut Jokowi, harga helikopter itu terlalu mahal di tengah kondisi perekonomian nasional yang belum terlalu bangkit. Setahun kemudian, TNI AU tetap membeli helikopter tersebut meski mendapat penolakan Presiden.

Meski demikian, KSAU menegaskan bahwa helikopter yang dibeli hanya satu unit. Helikopter tersebut juga dibeli dengan anggaran TNI AU, bukan Sekretariat Negara.

Faktor kesulitan

Setelah lelang dilaksanakan, diduga terdapat selisih harga antara harga yang ditetapkan di dalam lelang dengan kerja sama yang telah dilakukan dengan produsen helikopter tersebut.

Menurut Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan, Irfan telah melakukan kerja sama dengan produsen AgustaWestland di Inggris dan Italia. Kontrak pembelian yang disepakati waktu itu senilai Rp 514 miliar.

Namun ketika lelang dilakukan dan PT DJM ditetapkan sebagai pemenang, nilai kontrak dengan TNI AU dinaikkan menjadi Rp 738 miliar.

Dengan demikian, terdapat selisih Rp 224 miliar yang dinilai menjadi potensi kerugian negara dalam proses pengadaannya.

Meski demikian, hingga kini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) belum menyelesaikan audit kerugian negara dalam peristiwa tersebut. Padahal, KPK telah meminta penghitungan tersebut sejak jauh sebelumnya.

Belum adanya audit kerugian negara ini dinilai menjadi salah satu alasan KPK terlalu prematur dalam menetapkan tersangka pada kasus ini.

"Dalam kasus ini, KPK sepertinya terlalu prematur dalam menetapkan tersangka," kata dosen hukum keuangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dian Simatupang, saat sidang gugatan praperadilan yang diajukan tersangka Irfan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 7 November 2017 silam.

Namun, saat itu KPK berdalih penyidik KPK dapat melakukan penghitungan kerugian negara. Hal itu telah dilakukan dan diperiksa kembali oleh ahli dari BPK saat dilakukan rapat koordinasi.

Hal lain yang menjadi kendala, menurut Juru Bicara KPK Febri Diansyah, sulitnya menjadwalkan pemeriksaan terhadap sejumlah perwira menengah. Padahal, KPK dan POM TNI telah bekerja sama sebelumnya untuk menyelesaikan kasus ini.

"Sebelumnya KPK telah berkoordinasi dengan POM TNI dalam penanganan perkara ini. Semua saksi dalam kasus ini tidak hadir. Kami di KPK ataupun POM TNI belum mendapat konfirmasi alasan ketidakhadiran," kata Febri.

Sementara pihak TNI mengaku kesulitan mengungkap inisiator pembelian helikopter tersebut. Dari hasil penyelidikan POM TNI, penyimpangan diduga terjadi dalam proses pengadaan.

"Dalam tindak pidana korupsi inisiator itu pasti ada dan kami kejar terus di mana inisiator pembelian ini sampai bisa terjadi," kata Komandan Pusat Polisi Militer Mayor Jenderal TNI Dodik Wijanarko, 4 Agustus 2017 silam.

Menurut dia, sebenarnya POM TNI telah memperoleh gambaran inisiator pengadaan. Namun, pihaknya memerlukan sejumlah pembuktian untuk memperoleh kepastian hukum lainnya.

Ia menegaskan, tak ada kesengajaan dari pihak POM TNI untuk memperlambat proses tersebut. Sebab, untuk memastikannya tak bisa dilakukan secara gegabah dan ceroboh.

"Sudah kelihatan bayang-bayang insiatornya siapa. Tetapi hukum tidak bisa demikian, hukum perlu keterangan saksi dan keterangan yang lain, sehingga ketika kita menetapkan tersangka lainnya sah," ujarnya.

Sumber: Kompas.com (Penulis: Robertus Belarminus, Dylan Apriando Rachman, Abba Gabrilin)

https://nasional.kompas.com/read/2019/11/12/18011821/ini-kasus-heli-aw101-yang-disebut-belum-diselesaikan-kpk

Terkini Lainnya

Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Nasional
Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Nasional
KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

Nasional
Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Nasional
Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Nasional
Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Nasional
Pakar Hukum Dorong Percepatan 'Recovery Asset' dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Pakar Hukum Dorong Percepatan "Recovery Asset" dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Nasional
Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Nasional
Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Nasional
Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Nasional
TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

Nasional
Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Nasional
Pakar Hukum Duga Ada 'Orang Kuat' Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Pakar Hukum Duga Ada "Orang Kuat" Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Nasional
Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia 'The New Soekarno'

Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia "The New Soekarno"

Nasional
TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke