Ketiga yakni Tawazun atau harmoni atau seimbang dalam khidmat kepada Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan hidup dengan menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang.
Keempat, pengimplementasian Amar Ma’ruf Nahi Munkar yakni upaya menyeru kepada sesuatu kebaikan dan berguna bagi kehidupan dan mencegah serta menolak kepada hal-hal yang merendahkan nilai-nilai kemanusiaan.
Gagasan pembaharuan NU seperti itu, dengan merujuk pada kontekstualisasi kondisi permasalahan yang dihadapi bangsa kini, tentu dinanti kembali melalui keberadaan KH Ma’ruf Amin.
Posisinya sebagai wakil presiden akan lebih memudahkannya untuk mengimplementasikan nilai-nilai NU yang sejalan dengan kebutuhan bangsa kontemporer.
Paling tidak ada beberapa agenda penting negara yang juga sejalan dengan beberapa keputusan Muktamar NU dan juga menjadi misi organisasi.
Pertama, persoalan pemberantasan korupsi dan kedua soal maraknya radikalisme.
Dalam buku Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi, NU dalam beberapa kali muktamar dan musyawarah nasionalnya memberikan porsi yang besar dalam persoalan pemberantasan korupsi.
Jejak tersebut dapat dilacak dalam Muktamar NU (1999, 2004, 2010, 2015) dan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU tahun (2002, 2006, 2012).
Pada Muktamar tahun 1999, NU menghasilkan keputusan penting bahwa uang negara hakikatnya adalah uang Allah.
Uang tersebut diamanatkan kepada pemerintah untuk digunakan sebesar-besar demi kemaslahatan rakyat bukan digunakan untuk kebatilan.
Kelak amanat atas uang tersebut akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah di akhirat dan di hadapan rakyat di dunia.
Sementara pada Musyawarah Nasional tahun 2002, NU mendefinisikan korupsi sebagai “pengkhianatan berat (gul?l) terhadap amanat rakyat.
Dilihat dari cara kerja dan dampaknya, korupsi dapat dikategorikan sebagai bentuk pencurian (sariq?h) dan perampokan (nahb).”
Karenanya, hukuman yang layak bagi perbuatan tersebut adalah potong tangan hingga hukuman mati.