Selanjutnya, puncak dari jihad politik anti korupsi NU terekam dalam Munas Alim Ulama NU di Pondok Pesantren Kempek Cirebon, Jawa Barat pada tahun 2012.
Pada muktamar tersebut NU memutuskan beberapa hasil penting antara lain: hukuman mati bagi koruptor sebagai tindakan efek jera, kewajiban pengembalian hasil korupsi ke kas negara meski pelaku telah menjalani masa hukuman, serta larangan bagi koruptor untuk mencalonkan atau dicalonkan sebagai pejabat publik.
Bahkan di muktamar ke 32 di Makassar tahun 2010 NU merekomendasikan negara untuk memperkuat sistem kelembagaan dan wewenang penanganan korupsi.
Dalam hal ini KPK, Pengadilan Tipikor, Kejaksaan dan Kehakiman bersama-sama secara koordinatif diberikan kekuasaan dan independensi dalam penindakan.
Adapun langkah terbaru NU untuk memberantas korupsi tercatat dalam muktamar terakhir ke-33 tahun 2015 di Jombang yang menegaskan kembali komitmennya akan pemberantasan korupsi.
Beberapa keputusan penting di antaranya; NU menjadi garda terdepan perjuangan anti korupsi sebagai langkah untuk melindungi hak rakyat dari kezaliman dan menentang segala tindakan kriminalisasi yang diarahkan kepada para pegiat anti-korupsi.
Dari berbagai keputusan di atas, jelas bahwa NU serius dalam mengupayakan Indonesia yang bersih dari korupsi.
Sebab itu dalam hal ini, KH Ma’ruf Amin harus menampakkan posisi yang juga solid dalam perang terhadap praktik inkonstitusional tersebut.
Ini sejalan dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar NU. Langkah nyata yang sudah menunggunya sekarang di depan adalah agar memberikan pertimbangan kepada Jokowi untuk segera mengeluarkan Perpu KPK.
Perpu ini penting demi kemaslahatan yang dapat menjamin KPK sebagai institusi independen dan bergerak tanpa ragu-ragu di tengah gurita korupsi yang merajalela.
Kedua, persoalan radikalisme yang semakin menggejala di masyarakat, telah menembus batas-batas profesi, umur, dan bahkan menyebar di instansi-instansi pemerintahan.
Laporan Kementerian Pertahanan menyebutkan, kurang lebih 3 persen anggota TNI terpapar radikalisme (Kompas, 20/06/2019).
Dalam muktamar ke 33, NU memetakan beberapa kelompok radikal berdasarkan karakteristiknya.
Pertama kelompok takfiri. Kelompok ini merupakan paling ekstrem yakni kelompok yang mudah memberikan label kafir kepada setiap kelompok yang berbeda pandangan dengan keyakinannya.
Ada semacam eksklusivisme bahwa paham mereka adalah paling benar. Dalam praktiknya mereka menghalalkan membunuh para kafir tersebut.
Kelompok kedua yakni kelompok jihadi. Mereka mengangap bahwa negara yang tidak menerapkan syariat islam adalah thogut karenanya kelompok ini kerap melakukan tindakan kekerasan terhadap elemen-elemen negara seperti polisi, menkopolhukam, dan sebagainya.
Ketiga yakni kelompok siyasi. Kelompok ini bergerak di jalur politik melalui partai dan organisasi. Mereka memiliki ideologi transnasional dengan tujuan mendirikan sistem khilafah.
Kelompok keempat yakni kelompok salafi yang memiliki tendensi menuduh kelompok lain sebagai pelaku syirik, bid’ah dan khurafat. Mereka memiliki paham ideologi wahabi yang anti terhadap keterbukaan.
Maka itu, sepadan dengan misi NU tentang ajaran islam yang inklusif dan rahmatan lil alamin, sudah barang tentu, upaya pengendalian dan preventif atas tindakan dan paham-paham radikal mesti diupayakan dengan lebih serius lagi.
Kehadiran KH Ma’ruf Amin diharapkan meneruskan kembali apa yang telah dilakukan oleh Gus Dur di masa lalu.
KH Ma’ruf Amin harus vokal menjadi juru bicara toleransi sebagaimana hal ini selalu digaungkan oleh NU secara terus menerus.