Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

GBHN Dinilai Berpotensi Merusak Sistem Presidensial

Kompas.com - 22/08/2019, 17:56 WIB
Christoforus Ristianto,
Bayu Galih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi menilai, gagasan amendemen Undang-Undang Dasar 1945 berpotensi merusak sistem presidensial Indonesia.

Menurut Fajri, gagasan tersebut akan menempatkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi.

"Saya juga mempertanyakan urgensi amandemen konstitusi. Ini berpotensi merusak sistem presidensial karena MPR bisa memberhentikan presiden jika tidak melaksanakan GBHN atau haluan negara," ujar Fajri kepada Kompas.com, Kamis (22/8/2019).

Sistem presidensial, lanjut Fajri, lebih tepat dalam membawa Indonesia sebagai negara yang lebih demokratis.

Baca juga: Wapres Kalla Nilai GBHN Bertentangan dengan Semangat Pemilu Langsung

Pasalnya, presiden bertanggung jawab kepada pemilihnya, bukan kepada lembaga lain.

"Wacana mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara bisa bertentangan dengan kedaulatan rakyat yang tergambar dari pemilu secara langsung," tuturnya.

Sebelumnya, dalam acara "Satu Meja" di Kompas TV, Rabu (21/8/2019), Presiden Joko Widodo khawatir amandemen UUD 1945 berujung pada kembalinya presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR.

"Itu saling kait mengait. Kalau GBHN dikerjakan oleh MPR, artinya presiden mandataris MPR. Kalau presiden mandataris MPR, artinya presiden dipilih oleh MPR," kata Jokowi.

Baca juga: Ketua MPR Tegaskan Amandemen UUD 1945 Hanya terkait Penerapan GBHN

Jokowi pun menegaskan bahwa ia akan menjadi orang yang pertama menolak jika presiden dipilih kembali oleh MPR.

Jokowi ingin agar presiden dan wakil presiden tetap dipilih langsung oleh rakyat.

"Karena saya adalah produk dari pilihan langsung oleh rakyat," kata Jokowi.

Oleh karena itu, Jokowi berharap wacana amendemen UUD 1945 yang muncul saat ini perlu dikaji lebih dalam kembali.

Jangan sampai amendemen ini menimbulkan guncangan politik yang tidak perlu di Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com