JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah organisasi masyarakat sipil bidang hak asasi manusia (HAM) mendesak polisi segera menangkap pelaku yang diduga melakukan tindakan diskriminasi dan melontarkan kalimat rasisme serta provokasi terhadap mahasiswa Papua.
"ICJR mengecam seluruh tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh aparat keamanan yang memicu terjadinya aksi masyarakat di sejumlah daerah dan mendesak pemerintah untuk mengadili seluruh pelaku tindakan diskriminasi rasial terhadap mahasiswa Papua," ujar Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju kepada Kompas.com, Selasa (20/8/2019).
Penegakan hukum terhadap pelaku dinilai akan menjadi jaminan peristiwa serupa tidak terulang.
Apalagi, diskriminasi rasial itu telah memicu aksi unjuk rasa besar-besaran di Manokwari, Jayapura, dan Sorong, Senin (19/8/2019) dan Selasa (20/8/2019).
Baca juga: Menjaga Damai di Tanah Papua, Tangkal Hoaks dan Lawan Rasisme
Anggara menjelaskan, Undang-Undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis secara tegas menyebutkan definisi tindakan diskriminatif ras dan etnis.
Pasal 4 huruf b angka 2 UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis menyatakan, suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai diskriminatif ras dan etnis apabila menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis.
Salah satu bentuknya yakni berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain.
Bagi siapapun yang melanggar ketentuan tersebut, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500 juta.
"Hal ini juga sejalan dengan Surat Edaran Kapolri SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian, sehingga polisi harus segera menindak setiap orang, termasuk aparatur negara, yang terlibat yang melakukan tindakan diskriminasi rasial tersebut," kata Anggara.
Hal senada juga diungkapkan oleh Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), Yati Andriyani.
"Kami mendorong proses penegakan hukum terhadap tindakan persekusi dan rasisme yang terjadi," ujar Yati.
Baca juga: Polri Didesak Tangkap Pelaku Rasisme terhadap Mahasiswa Papua
Pihaknya mengecam segala bentuk tindakan rasialisme dan diskriminasi terhadap masyarakat Papua maupun etnis-etnis lainnya. Pemerintah harus segera turun tangan
"Pemerintah harus pro-aktif mencegah, menghentikan segala upaya atau tindakan provokasi yang memecah bela masyarakat dengan menggunakan isu-isu Papua," tutur dia.
Pada akhir 2008, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menerbitkan buku "Papua Road Map" sebagai hasil penelitian pemetaan masalah utama di Papua.
Dalam penelitiannya, LIPI menyebut persoalan marjinalisasi, diskriminasi dan pelanggaran HAM sebagai bagian dari banyak isu utama di Papua.
Marjinalisasi dan diskriminasi dialami orang asli Papua, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial-budaya.
Sedangkan, sampai hari ini belum ada masalah pelanggaran HAM yang diselesaikan secara adil, termasuk juga belum berhasil diputusnya siklus kekerasan di Papua yang dilakukan negara.
Ia berharap, pendekatan dialog juga diterapkan oleh pemerintah saat ini dalam menangani situasi setelah aksi unjuk rasa.
"Teladan ini perlu dicontoh sehingga warga Papua tidak lagi diperlakukan secara diskriminatif, didengar aspirasinya, serta dihargai martabat kemanusiaannya," ujar Alissa melalui keterangan tertulisnya, Selasa (20/8/2019).
Baca juga: Alissa Wahid: Gus Dur Selalu Kedepankan Dialog Saat Tangani Masalah Papua
Semasa hidupnya, Gus Dur memberikan teladan tentang kepedulian akan situasi di Papua.
Ia selalu mengedepankan dialog dengan melibatkan kepala suku dan tokoh agama dengan prinsip partisipatif, tanpa kekerasan dan mengutamakan keadilan.
Ia mencontohkan langkah Gus Dur untuk mengembalikan nama Papua sebagai nama resmi dan mengizinkan pengibaran bendera bintang kejora sebagai bendera kebangaan dan identitas kultural masyarakat Papua.
Upaya tersebut merupakan bagian dari pendekatan dialog yang dilakukan oleh Gus Dur.
"Gus Dur selalu mengedepankan dialog dan pelibatan tokoh-tokoh non-formal, misalnya kepala suku dan pemimpin agama dengan prinsip partisipatif, non-kekerasan, dan adil," kata Alissa.
Baca juga: Fadli: Kerusuhan Manokwari Harus Ditangani dengan Pendekatan Bijaksana
Jaringan Gusdurian menyadari sepenuhnya bahwa selama ini Papua sebagai tempat yang memiliki kekayaan alam melimpah justru menjadi kawasan yang tertinggal di Indonesia.
Oleh sebab itu, keadilan dan perlakuan yang tidak setara masih terjadi di Papua hingga sekarang.
Putri Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid itu pun menegaskan bahwa masyarakat Papua harus dihargai martabatnya sebagai sesama warga negara Indonesia.
Ia mengatakan, penyelesaian segala perbedaan harus dilakukan berdasar kesetaraan, keadilan dan kemanusiaan.
"Masyarakat Papua harus dihargai martabatnya sebagai sesama anak bangsa Indonesia yang mempunyai hak yang sama dan setara," tutur dia.
Peneliti LIPI Adriana Elisabeth sependapat. Ia menyarankan pemerintah membuka dialog yang selama ini tidak pernah dibicarakan bersama masyarakat Papua.
Dialog dapat menjadi alat untuk mempertahankan suasana tetap damai.
"Jadi untuk jangka panjangnya, berdialoglah tentang apa yang selama ini menjadi ketidaksukaan Papua, atau ketidaksukaan non-Papua kepada Papua. Itu kan harus dibicarakan," ujar Adriana.
Baca juga: Langkah Pemerintah Tangani Kerusuhan Manokwari...
Tidak dipungkiri, kerusuhan di Manokwari merupakan buntut aksi protes dari persekusi dan diskriminasi yang dialami mahasiswa Papua di Jawa Timur.
Oleh karena itu, Andriana mengingatkan semua pihak untuk berhati-hati dalam menyampaikan label Identitas.
"Karena isu soal identitas itu sangat sensitif apapun agama, suku dan sebagainya, itu dan ini masih masuk dalam pesan intoleransi. Jadi hati-hati kalau tidak dikelola dengan baik, orang akan mudah marah dan mudah tersinggung," kata dia.