Kemudian pengusaha Andi Naragong dan Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo.
Terakhir, adalah mantan anggota Komisi II DPR Markus Nari. Ia merupakan orang ke-8 yang rencananya segera menjalani persidangan pada Rabu (14/8/2019) ini.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang pun memastikan kasus ini terus berlanjut, setelah empat orang menjadi tersangka baru pada Selasa (13/8/2018).
KPK menduga masih ada pihak lain yang terlibat dan menikmati aliran dana dalam korupsi proyek e-KTP.
"Kalau penyidik bicara strategi, ya kita tunggu strateginya seperti apa. Mengenai nama-nama lain, ketika Anda harus tanya siapa berbuat apa, penyidik yang lebih paham, tetapi, kalau Anda tanya saya, saya punya perhitungan sendiri, tetapi saya enggak bisa bilang di sini, di ekspose saya sampaikan pikiran saya," kata Saut di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (13/8/2019).
Baca juga: Catatan ICW dan TII: 18 Kasus Korupsi Besar Belum Dituntaskan KPK
Secara personal, Saut mengaku menaruh perhatian khusus pada kasus ini. Ia berjanji terus mengawal pengembangan kasus ini hingga masa jabatannya selesai pada akhir 2019 nanti.
"Kasus ini saya kawal betul. Jadi sekali lagi ya imbauan agar bersabar dulu untuk kemudian kita konsisten mendalami ini, siapa-siapa berbuat apa, itu mungkin nanti yang perlu proses. KPK tetap berlanjut menindaklanjuti kasus ini," ujar dia.
Empat tersangka baru
Empat tersangka baru yang diumumkan itu adalah mantan anggota DPR Miryam S Hariyani; Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI (PNRI) Isnu Edhi Wijaya.
Baca juga: KPK Tetapkan Empat Tersangka Baru Kasus Korupsi E-KTP
Kemudian, Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan Kartu Tanda Penduduk Elektronik Husni Fahmi; dan Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra, Paulus Tanos.
Mereka dianggap ikut melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Peran empat tersangka
Miriam, Isnu, Husni dan Fahmi memiliki peran tersendiri di kasus ini.
Miriam S Hariyani diduga meminta uang 100.000 dollar Amerika Serikat (AS) pada Mei 2011 kepada Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil saat itu, Irman.
Tak sampai di situ, Miriam diduga meminta uang dengan kode "uang jajan" kepada Irman. Permintaan itu mengatasnamakan rekan-rekannya di Komisi II yang akan reses.